SEBUTLAH DALAM HATIMU.....!!!

عليكم بـــــــــــــ

AHLUS SUNNAH WAL JAMA'ah

Bersentuhan/Sungkem/Salaman/Musofahah Dengan Lawan Jenis (Bukan Mahrom) Perspektif Empat Madzhab


Berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan mahrom

Sebuah persoalan yang sering dihadapi oleh kaum muslimin zaman sekarang yaitu masalah berjabatan tangan antara laki-laki dengan wanita yang bukan mahrom, khususnya terhadap kerabat sendiri yang bukan mahromnya, seperti anak paman atau anak bibi (saudara misan/sepupu), semenda (besan), istri paman atau suami bibi, saudara wanita dari isteri (ipar) atau saudara lelaki dari suami (ipar) atau wanita-wanita lainnya ,yang bukan mahrom, yang masih ada hubungan kekerabatan.

Lebih-lebih dalam waktu-waktu tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni’ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain, malah ada lagi yang berpeluk-pelukan atau peluk cium.

Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan atau berpeluk-pelukan, maka mereka memandang kita sebagai seorang beragama yang kuno, terlalu ketat, tidak saling menghargai, merendahkan wanita, tidak sopan, selalu berprasangka buruk dan sebagainya dan sebagainya.

Berjabatan tangan sesama jenisnya itu memang dianjurkan oleh syari’at, karena banyak riwayat hadits yang menyebutkan para sahabat bila bertemu sering berjabatan tangan. Anjuran agama ini berlaku untuk sesama jenisnya yaitu lelaki dengan lelaki dan wanita dengan wanita atau dengan sesama mahromnya, jadi bukan antara lelaki dan wanita yang bukan mahrom !

Orang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan dengan yang bukan mahrom berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai, padahal keramahan dan kesopanan yang dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah terletak pada jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan mahrom. Kita sebenar- nya juga tidak perlu bingung dengan kritikan orang lain (kolot, kurang sopan dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya, yang penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan oleh syari’at Islam.

Bagaimana bila kondisinya darurat ?

Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr ittasa a’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah’.

Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilakukan! Umumnya darurat baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak ada alternatif lain. Itu pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan sebagainya. Sekarang kita bertanya sendiri apakah ber- jabatan tangan antara muslim-muslimah yang bukan mahrom termasuk darurat ? Sudah tentu tidak !

Sebenarnya masalah ini banyak tercantum juga di internet/website mengenai dalil berjabatan tangan antara bukan mahrom, dan setelah kita analisis dengan seksama maka kita akan menemukan bahwa dalil-dalil syara’ yang berkaitan pengharaman jabat tangan dengan ajnabiyah (wanita bukan mahrom) adalah jauh lebih banyak daripada dalil yang memperbolehkannya


Dalil yang memperbolehkannya pun belum mutlak tetapi masih mempunyai syarat-syarat tertentu, Misalnya:

Pertama:



Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat dan aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak (apalagi keduanya ,malah mereka bilang “Suuueger re reek”) maka keharaman berjabatan tangan tidak diragukan lagi.


Bahkan seandainya kedua syarat itu tidak terpenuhi yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahromnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya atau lainnya, maka berjabatan tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecilpun hukumnya juga haram jika kedua syarat itu tidak terpenuhi, walaupun sebagian ulama syafi'i memperbolehkan bersalaman dengan anak kecil 5-7 tahun namun 2 syarat tersebut harus terpenuhi!

Kedua: 

Hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan (keperluan) saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan diatas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan erat dan akrab diantara mereka, dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati dan meneladani sikap Nabi صلى الله عليه وآله وسلم. Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah yang komitmen pada agamanya ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis !

Demikianlah sebagian syarat yang diajukan oleh golongan yang memboleh- kannya. Syarat-syarat itu cukup berat bagi orang yang mau memahaminya, karena sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Apakah kita yakin bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri saudara dan saudari tersebut? Tetapi sayangnya orang hanya mengamalkan pemboleh- annya saja tetapi mengabaikan syarat-syaratnya ! 

Ada lagi orang yang mengatakan; yang penting niat kita karena ada hadits yang mengatakan bahwa ‘segala sesuatu amalan itu tergantung dari niatnya...’ Padahal hadits itu tidak berlaku untuk sesuatu amalan yang sudah digariskan dalam syari’at Islam atas kewajibannya ataupun larangannya, maksudnya ialah bila sudah ada perintah dan larangan dalam syari’at Islam, maka kita tidak boleh melanggarnya walaupun niat kita baik untuk amalan tersebut. Saya akan berikan contoh yang mudah saja: Syari’at Islam memerintahkan kita agar sholat dimulai dengan ucapan takbir dan di akhiri dengan salam. Bila ada orang yang sholat tanpa memulai dengan ucapan takbir maka sholatnya batal/tidak sah harus diulangi, walaupun orang itu sudah berniat untuk sholat. Contohnya lagi Sholat Shubuh dalam syari’at Islam jumlahnya dua raka’at. Ada orang yang sengaja ingin menambah kebaikan maka dia sholat Shubuh tiga raka’at. Maka sholatnya orang itu batal dan tidak sah, walaupun niatnya dia baik yaitu lebih banyak beribadah kepada Allah swt.!! 

Banyak para ulama yang mengatakan bahwa dalil yang berkaitan dengan larangan itu harus lebih didahulukan daripada hukum yang membolehkannya. Begitu juga sebagian besar ulama baik zaman dahulu maupun sekarang tidak melakukan berjabatan tangan dengan wanita yang bukan mahromnya. Tidak lain para ulama pakar ini memahami makna ayat-ayat ilahi dan hadits-hadits yang berkaitan dengan etika cara berhubungan antara lelaki dan wanita yang bukan mahromnya. 

Tujuan saya untuk mengutip masalah jabat tangan ini tidak lain agar kita tidak marah, mencela atau bersangka buruk kepada orang muslimin yang tidak mau berjabatan tangan (umpama hanya dengan mengatupkan telapak tangannya sendiri atau meletakkan tangannya didada dan semisalnya) dengan orang yang bukan mahromnya. Tidak lain mereka ini juga mengikuti perintah Allah سبحانه و تعالىdan sunnah Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم Karena didalam praktek sehari-hari masih ada orang yang memaksa teman atau kerabatnya yang bukan mahrom untuk berjabatan tangan atau peluk cium satu sama lain. 

Walaupun kita berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara, tidak boleh dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka, masing-masing mempunyai tanggung jawab sendiri mengenai amalan yang dilakukannya tersebut.

Pertama-tama kami ingin mengutip dan mengumpulkan dari internet/ website dan dari sumber lainnya dibawah ini dalil-dalil orang yang melarang berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan mahrom, kemudian dalil-dalil orang yang membolehkannya dengan bersyarat, Insya Allah dengan adanya kutipan ini kita bisa menilai sendiri mana yang mendekati kebenaran. Semoga semuanya ini bisa bermanfaat kepada kami sekeluarga khususnya dan kaum muslimin lainnya. Amin


Dalil-dalil dari Al-Qur’an:

Perintah Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan wanita:
Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus disampaikan dari balik tabir pembatas. Sebagaimana firmanNya: ‘Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari balik hijab’. (QS. Al-Ahzab : 53).

Seorang wanita dilarang mendayukan (suara merdu sedikit lebay) ucapannya saat berbicara kepada selain suami. Firman Allah: “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidak- lah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab : 32).

Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan’”. (QS. An-Nur : 30). 

Sebagaimana firman diatas tetapi ditujukan kepada wanita beriman, Allah berfirman: “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.’” (QS. An-Nur : 31).

Manusia diciptakan oleh Allah ta’ala dengan membawa fitrah (insting) untuk mencintai lawan jenisnya, sebagaimana firman-Nya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-Imran : 14). 

Allah ta’ala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang bisa mendekati perzinaan sebagaimana firmanNya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ : 32). 

Ibnu Katsir berkata: 

‘Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh Allah kepada para istri Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم serta para wanita mu’minah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya.’ (Tafsir Ibnu Katsir 3/530).

Berkata Imam Qurthubi:

 ”Allah سبحانه و تعالى memulai dengan wanita karena kebanyakan manusia menginginkannya, juga karena mereka merupakan jerat-jerat syetan yang menjadi fitnah bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم .: ‘Tiadalah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita’ “ (HR. Bukhari: 5696, Muslim: 2740, Tirmidzi: 2780, Ibnu Majah : 3998). Oleh karena itu, wanita adalah fitnah terbesar dibanding yang lainnya. (Tafsir Qurthubi 2/20). 

Kalau Allah سبحانه و تعالى memerintahkan agar orang menahan pandangannya terhadap lawan jenisnya (yang bukan mahrom), maka tidak ragu lagi, bahwa sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui kebenaran hal itu,…. Renungkanlah ! 

Dalil-dalil dari hadits dan keterangan para ulama pakar baik yang langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan larangan bersentuhan kulit dengan lawan jenisnya:

Dari Ma’qil bin Yasar ra. berkata :
Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda: “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal (bukan mahrom) baginya.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Kabir 20/174/386). 

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata dengan memandang, zina lisan dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang akan membenarkan atau mendustakan semuanya.” (HR. Bukhari 4/170, Muslim 8.52, Abu Dawud 2152) 

Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti membai’at dan lain-lain. Dari Aisyah ra.: ‘“Demi Allah, tangan Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam keadaan membai’at. Beliau tidak memba’iat mereka kecuali dengan mengatakan: ‘Saya ba’iat kalian.’ “ [HR Bukhori: 4891]

Sabda Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم lainnya: “Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, kedua kaki berzina dan kemaluan pun berzina” (HR. Ahmad, 1/ 412; shahihul jam’ : 4126).

Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم menguji kaum mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman Allah ta’ala ( ayat 12 surat al-Mumtahanah): “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk membaiatmu….. sampai pada firman-Nya: ‘Allah Maha Pengampun lagi Penyayang’”. Urwah berkata, ‘Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan dalam ayat tersebut.’ Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم pun berkata kepadanya, ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, beliau nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).’ ‘Aisyah berkata; ‘Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan, ‘Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut’ ”. (HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811)

Umaimah bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita mendatangi Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم untuk membaiat beliau dalam Islam. Kami berkata; ‘Wahai Rasulallah, kami membaiatmu bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam perkara kebaikan’. Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda, ‘Sesuai yang kalian mampu dan sanggupi’. Umaimah berkata, ‘Kami berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada sayangnya kami kepada diri-diri kami. Marilah, kami akan membaiatmu wahai Rasulallah’. Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم kemudian berkata: ‘Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita”.

Aisyah ra. berkata:

“Dan Demi Allah, sungguh tangan Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم tidak (pernah) menyentuh tangan perempuan sama sekali, tetapi beliau membaiat mereka dengan perkataan” (HR Muslim:3/1489).

Dari Umaimah bintih Ruqoiqoh radhiyallahu ‘anha: Bersabda Rasulallah saw.: “Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, Ath Thabrani dalam Al Kabir : 24/342, shahihul jami’: 70554, hadits nr. 2509] 

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم membaiat mereka hanya dengan mengucapkan: ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, tanpa beliau menjabat tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada pembaiatan kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.” (Fathul Bari, 8/811)

Al-Hafidh Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits ‘Aisyah diatas yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita ketika baiat, beliau mengatakan: “Dan di dalam hadits ini -yaitu hadits ‘Aisyah- ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan mahrom, dan suara mereka itu bukanlah aurat. Dan hukum haramnya menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat”. (Fathul-Bari, 16/330)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (non mahrom) tanpa keperluan darurat, seperti karena pengobatan dan hal lainnya bila memang tidak didapatkan dokter wanita yang bisa menanganinya. Karena keadaan darurat, seorang wanita boleh berobat kepada dokter laki-laki ajnabi (bukan mahrom si wanita). (Al-Minhaj, 13/14)

Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata, “Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita, dan merupakan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur akan mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)

Imam asy-Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul hal.279 mengatakan: “Larangan lebih didahulukan ketimbang kebolehan” .

Dengan kaidah ini seharusnya kita lebih mendahulukan dalil larangan berjabat tangan dengan lawan jenis daripada dalil yang menetapkan kebolehannya/ kemubahannya.

Beberapa pendapat ulama-ulama dari empat madzhab besar diantaranya:

Madzhab Hanafi :
Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan mahrom, sekalipun aman dari syahwat.
Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
Imam al-Kasaani berkata: “menyentuh (wanita) lebih berpotensi membangkitkan syahwat daripada sekedar melihat ..” [Bada'iu ash-Shana`i']

Madzhab Maliki: 
Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan mahrom. Ini dinyatakan oleh al-Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.
Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.
Imam Abul Barokaat menyatakan: “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan mahrom) walaupun kaum lelaki sudah tidak memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya .” [asy-Syahush Shaghir IV/760].

Madzhab Syafi’i :
Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-lain ulama as-Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan perempuan bukan mahrom.

Imam an-Nawawi berkata: “Memandang wanita (bukan mahrom) saja haram, maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih nikmat .” [Roudhotu ath-Thalilibin VII/28].

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para shahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan mahromnya pada saat hendak menikahinya, pada saat jual beli, pada saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diperbolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”.

Madzhab Hanbali:
Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan bukan mahrom, beliau menjawab: “Aku membencinya.”

Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua: 

Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan (tidak dibolehkan). 
Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan dengan anak kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.

Imam al-Marruzi (ada yang membaca : al-Marwazi) mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. ” Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non mahrom)?”" Beliau menjawab: “Aku membencinya.” [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang mengharamkan berjabatan tangan dengan wanita bukan Mahrom.

Dalil dari golongan yang membolehkan:

Pendapat yang membolehkan berdalil pada riwayat hadits diantaranya dari Ummu ‘Athiyah yang menurut mereka kata-kata ga ba dho dalam hadits itu berarti tangan Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم bersentuhan (memegang) tangan wanita. Diantara ulama yang membolehkan ialah: an-Nabhani, al-Qordhowi, Mahmud Khalidi dan semisalnya dari kalangan khalaf (belakangan). Beberapa alasan golongan yang membolehkan sebagai berikut :

Alasan pertama: 

Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah r.a. yang berkata:

“Kami membai’at Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم lalu beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangisi mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR. Bukhari).

Kata golongan ini : “ Hadits itu menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam atau melepaskan tangan. Seperti disebutkan didalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tangannya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/ dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas –baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at “ (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57 – 58, 71 – 72).

Jawabannya :

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari dikatakan: Menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, menceritakan kepada kami Abdul-Warits, menceritakan kepada kami Ayyub dari Hafshoh binti Sirin, dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم membaiat kami, dan beliau membacakan kepada kami ayat “agar mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, beliau melarang kami dari niyahah (meratap), seorang wanita memegang tangannya sendiri (Lafadznya; faqobadlot imro’atun yadaha) dan berkata: seorang fulanah telah membuatku gembira dan aku ingin berterima kasih padanya, dan nabi tidak mengatakan sesuatu apapun pada dirinya, kemudian wanita itu pergi dan kembali lagi, lalu nabi membaiatnya.”

Kata qo ba dho di dalam tekts hadits diatas faqobadhot imro’atun yadaha ditafsirkan dengan makna berjabat tangan (Mushofahah), ini tidak tepat sekali dari segi bahasa baik secara manthuq maupun mafhumnya. Berikut ini makna qo ba dho dari beberapa kamus bahasa Arab yang menjadi pegangan.

Di dalam Mukhtaarus Shihhaah ( Mukhtaarus Shihhah, Imam Muhammad bin Abi Bakr bin Abdir Qodir ar-Razi, cet. I, 1414 H./1994 M., Darul Kutub al-Ilmiyah, hal. 464.) dikatakan: Qobadho asy-Sya’i maknanya akhodzahu = mengambilnya. Wal Qobdhu aidhan dliddu al-Basthu = dan qobdhu juga merupakan lawan dari basthu (membentang- kan). Jika dikatakan : Shoro asy-Sya’i fi qobdhika wa fi qobdhotika maknanya adalah fi milkika (dalam kepunyaanmu/kepemilikanmu).

Didalam kamus al-Mu’tamad (Kamus ‘Arobi-‘Arobi), Abu Abdirrahman Muhammad Abdillah Qosim, Cet. III, 2004, Dar Shodir, Beirut, hal. 513.) dikatakan: Qobadho Qobdhon ar-Rajulu asy-Syai’a maknanya akhodzahu wa tanaawaluhu = mengambil dan menerimanya. Qobadho ‘ala asy-Syai’i maknanya amsakahu wa dhomma ‘alaihi ashobi’uhu = menggenggamnya dan merapatkan dengan erat jari jemarinya. Qobadho yadahu ‘an asy-Syai’i maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan dari genggaman.

Didalam kamus al-Muhith ( Majduddin Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim al-Fairuz Abadi asy-Syairazi asy-Syafi’i, juz II, cet. I, 1415/1995, Darul Kutub al-Ilmiyah, hal. 521) dikatakan : Qobadhohu yadahu yaqbidhuhu maknanya tanaawaluhu biyadihi = menerima dengan/mengulur- kan tangannya. Qobadho ‘alaihi biyadihi maknanya imsaakihi = menggenggamnya. Qobadho yadahu ‘anhu maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan genggamannya.

Didalam kamus al-Munawwir ((Kamus Arab-Indonesia Terlengkap), Ahmad Warson Munawwir, Cet. XIV, 1997, Pustaka Progressif, hal 1086.) dikatakan: 

Qobadho asy-Syai’a aw ‘alaihi maknanya menggenggam. Qobadho wa Qobbadho asy-Syai’a maknanya qollashohu= mengerutkan atau menguncup kan. Qobadho ‘anil Amri maknanya nahhaahu = menjauhkan. Qobadho yadahu ‘ani asy-sya’i maknanya melepaskan. Qobadho ‘anil Qoumi maknanya hajarohum = meninggalkan. Qobadho ‘alaihi maknanya menangkap.


Jadi Inti Dari Tulisan Ini adalah bahwa :

1. Agar kita tidak marah, mencela atau bersangka buruk kepada orang muslimin yang tidak mau berjabatan tangan (umpama hanya dengan mengatupkan telapak tangannya sendiri atau meletakkan tangannya didada dan semisalnya) dengan orang yang bukan mahromnya. Tidak lain mereka ini juga mengikuti perintah Allah سبحانه و تعالىdan sunnah Rasulallah صلى الله عليه وآله وسلم Karena didalam praktek sehari-hari masih ada orang yang memaksa teman atau kerabatnya yang bukan mahrom untuk berjabatan tangan atau peluk cium satu sama lain.

2. Kita akan menemukan bahwa dalil-dalil syara’ yang berkaitan pengharaman jabat tangan dengan ajnabiyah (wanita bukan mahrom) adalah jauh lebih banyak daripada dalil yang memperbolehkannya.Dalil yang memperbolehkannya pun belum mutlak tetapi masih mempunyai syarat-syarat tertentu.

3. hukum yang berkaitan dengan larangan itu harus lebih didahulukan daripada hukum yang membolehkannya

4. Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah yang komitmen pada agamanya ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis !

5. Rasulullah tidak pernah menyentuh wanita bukan mahrom meskipun beliau صلى الله عليه وآله وسلم pada waktu membai’at seorang wanita ,Sungguh ironis bila terdapat seorang santri putri di wajibkan Sungkem/Berjabat Tangan/Musofahah dengan Ustadz atau Kyainya dengan alasan “Ngalap Berkah Atau Tawadhu’ ”, apalagi mereka beranggapan bahwa ini ajaran thoriqoh atau tasawuf dan merupakan akhlak kepada Ustadz atau Kyai..Wal Iyadzu Billah.

Perhatikan nasehat Imam Syafi’I dalam sya’irnya :

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.

Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik? 

[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

و الى الله المستعان

Sekian Dari :
Al-Fagir Ilallah Al-Ghani
Allama Aluddin As-Shiddiq Bin Surur Asy-Syafi'ie Al Qodiry Wan Naqsabandy
20 Dzulqo’dah 1432 H / 18 Oktober 2011m
Kaliwungu, Jombang, Jawa Timur ,Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan menuliskan komentar dulur pada opsi Google/Blogger untuk dulur yang memiliki akun Google/Blogger.

Silahkan pilih account yang sesuai dengan blog/website dulur (LiveJournal, WordPress, TypePad, AIM).

Pada opsi OpenID silahkan masukkan URL blog/website dulur pada kotak yang tersedia.

Atau dulur bisa memilih opsi Nama/URL, lalu tulis nama dulur dan URL blog/website dulur pada kotak yang tersedia.

Jika dulur tidak punya blog/website, kolom URL boleh dikosongkan.


Gunakan opsi 'Anonim' jika dulur tidak ingin mempublikasikan data dulur. (sangat tidak disarankan). Jika komentar dulur berupa pertanyaan, maka jika dulur menggunakan opsi ini tidak akan ditanggapi. Afwan , salam Ukhuwah.

Sunni Muda
----------------------------------