SEBUTLAH DALAM HATIMU.....!!!

عليكم بـــــــــــــ

AHLUS SUNNAH WAL JAMA'ah

Maulid Nabi Muhammad SAW

Di postkan oleh :
Alama Alaudin As-shidiqy

Isi pada bab ini adalah sebagai berikut :
 Keterangan singkat mengenai peringatan Maulidin Nabi saw.
 Cara-cara memperingati hari-hari Allah
 Nama-nama kitab yang menulis riwayat hidup Rasulallah saw.
 Dalil-dalil dan manfaat yang berkaitan dengan peringatan Maulidin Nabi saw.
 Pendapat para Ulama dan tokoh cendekiawan Muslim
 Masalah berdiri waktu pembacaan Maulid
 Sekelumit Makalah
 Sekelumit tentang peringatan Isra dan Mi’raj Rasulallah saw.
 Mengagungkan Nabi Muhammad saw.
 Syair-syair untuk Nabi saw. dari para sahabat
 Mencampur aduk antara Ta’dim/pengagungan dan Ibadah
 Rasulallah saw.bukan manusia biasa tapi manusia sempurna/Kaamil

Setelah kita membaca dalil-dalil diperbolehkannya tawassul/tabarruk kepada Nabi saw., para sahabat dan kaum sholihin, marilah kita sekarang meneliti makna dan hikmah peringatan maulidin Nabi saw. (peringatan kelahiran Nabi saw.) dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya. Menurut riwayat pertama kali yang mengadakan acara peringatan-peringatan hari kelahiran dan kewafatan adalah pada pertengahan abad kedua tahun Hijriyah pada zamannya Imam Ja’far Shodiq atau Imam Musa Al-Kadhim dan diteruskan para Khalifah Bani Fathimiyah di Kairo pada abad ke empat Hijriyah. Mereka memperingati hari kelahiran dan kewafatan Nabi saw., Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib kw., Sayyidah Fatimah ra., Imam Hasan dan Imam Husin bin Ali bin Abu Thalib r.a dan orang-orang sholeh lainnya.
Golongan pengingkar ada yang mengatakanmenurut riwayat sejarah awal mula peringatan maulidin Nabi saw. diadakan oleh Al-Muiz-Liddimillah al-Abadi dan dia ini memiliki nama yang jelek karena dekat dengan Yahudi, Nasrani jauh dari Muslim dan sebagainya. Umpama saja riwayat dan mengenai pribadi orang itu kita benarkan sebagaimana yang dikatakan golongan pengingkar, kita tidak perlu melihat pribadi seseorang yang mengarang sesuatu, tapi yang penting lihat dan bacalah isi dan makna yang ditulis atau diciptakan oleh orang tersebut selama hal itu baik dan bermanfaat serta tidak keluar dari syari’at Islam maka dibolehkan dan malah di anjurkan oleh Islam untuk mengamalkannya! Sebagaimana ada kata-kata yang terkenal: ‘Janganlah kalian melihat siapa yang berbicara tapi dengar- kan apa yang dibicarakan’.
Jadi walaupun orang kafir tapi mempunyai ide/saran yang baik dan sarannya itu tidak keluar dari syari’at Islam, malah kita dianjurkan untuk menerimanya bila hal itu bermanfaat bagi masyarakat. Memang sifat kebiasaan golongan pengingkar yang sudah terkenal yaitu bila mereka tidak menyenangi amalan sesuatu karena bertentangan dengan pahamnya, mereka akan mencela, mencari jalan macam-macam untuk menjelekkan pribadi orang-orang yang menulis atau yang menciptakan sesuatu amalan tersebut.
Riwayat tentang awal mulanya peringatan maulidin Nabi saw. bermacam-macam, begitu juga mengenai tanggal lahir beliau saw. tetapi semua ini bukan suatu masalah yang perlu kita bahas disini. Yang sudah pasti bahwa berkumpulnya manusia secara massal untuk menyelenggarakan peringatan-peringatan keagamaan ini terjadi setelah zaman Nabi saw. dan para sahabat. Peringatan maulid ini diselenggarakan oleh muslimin yang terdiri baik dari kaum ulama mau pun kaum awam seluruh negara didunia antara lain: Mesir, Iran, Iraq, Indonesia, Malaysia, Saudi Arabia, Afrika, Yaman, Marokko, Pakistan, India serta dinegara-negara barat dan lain sebagainya.
Di Saudi Arabia walaupun disini tempat lahirnya Muhammad Abdul Wahhab imam golongan wahabi/salafi serta pengikutnya banyak diadakan peringatan maulid Nabi saw. dirumah-rumah atau flat-flat serta dihadiri oleh orang banyak dan cukup berkedudukan penting dipemerintahan Arab-Saudi. Mereka tidak dibolehkan menyolok mengadakan peringatan tersebut karena dikuatirkan akan terjadi keonaran yang ditimbulkan oleh golongan yang fanatik dan anti peringatan tersebut. Penulis pernah tinggal di Saudi Arabia dan sering menghadiri peringatan maulid disana.
Malah sekarang yaitu di Madinah setiap musim haji, bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan bulan mulia lainnya pada setiap malam jum’at mulai jam 22.00, ribuan orang sebagian besar dari golongan madzhab Syiah dari Iran, Irak, Kuwait dan lainnya duduk berkumpul dimuka kuburan Baqi’ (yaitu kuburan yang letaknya berhadapan dengan Kubah kuburan Nabi saw di Masjid Nabawi Madinah) untuk membaca bersama do’a Kumail (do’anya Amirul Mukminin Ali kw. yang diajarkan pada Kumail bin Ziyad) dengan pengeras suara, dan sekitar tempat itu dijaga oleh tentara-tentara Saudi Arabia hanya untuk menjaga keamanan saja.
Penulis sendiri, waktu naik haji dan Umrah, kebetulan melihat dan menyaksi- kan hal tersebut serta memotonya. Kami kira jama’ah Haji lainnya bila bertepatan malam jum’at berjalan didaerah itu akan bisa menyaksikan sendiri hal tersebut. Padahal dahulunya ulama-ulama Saudi sangat melarang ada- nya kumpulan-kumpulan pembacaan do’a dimuka umum seperti itu, apalagi sambil menggunakan pengeras suara. Mungkin dengan adanya dialog antara para ulama Saudi dengan ulama madzhab lainnya mengenai hal ter- sebut, maka mereka tidak bisa melarangnya karena tidak adanya dalil yang jelas dan tegas tentang larangan tersebut malah sebaliknya banyak dalil yang mengarah kebolehan dan kesunnahan berkumpul bersama untuk membaca dzikir.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa ke hidupan Nabi saw., itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi rekayasa yang baik, karena sejalan dengan hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat rekayasanya/ bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah, bukan terletak pada per-orangan (individu) yang memperingati hari kelahiran Nabi saw. Sebab masa hidup beliau saw. dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim melakukannya meski pun tidak disebut ‘perayaan atau peringatan’. Tidak lain semua itu adalah ijtihad para ulama pakar untuk mengumpulkan orang guna memperingati maulid Nabi saw. secara bersama/massal. Jadi bid’ah (rekayasa) seperti itu adalah rekayasa yang baik sekali karena banyak hikmah dan manfaat pada majlis tersebut.
 Allah swt. berfirman: “ ’Isa putera Maryam berdo’a, ‘Ya Tuhan kami turun- kanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari Raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki yang paling Utama’ ”. (QS. Al-Maidah [5] :114)
Turunnya makanan dari Allah swt. untuk ummat nabi ‘Isa saja sudah sebagai suatu kenikmatan dan hari Raya untuk ummat ‘Isa dan untuk yang datang sesudah mereka. Bagi ummat Muhammad Allah swt. telah memberikan berbagai kenikmatan dan kemuliaan karena lahirnya dan turunnya makhluk yang paling mulia yaitu Habibullah Rasulallah saw. kedunia ini. Mengapa golongan pengingkar selalu melarang kita menyambut dan merayakan hari maulid beliau saw., sebagai suatu kenikmatan dan kebahagiaan buat kita?
 Allah swt.. berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat kami, (dan Kami perintahkan kepadanya), ‘Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah”. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. ” (QS. Ibrahim [14] : 5)
Yang dimaksud dengan hari-hari Allah pada ayat itu ialah peristiwa yang telah terjadi pada kaum-kaum dahulu serta nikmat dan siksa yang dialami mereka. Ummat nabi Musa disuruh oleh Allah swt. untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah lalu baik itu yang berupa nikmat atau berupa adzab dari Allah swt.. Dengan adanya peringatan maulid itu kita selalu di ingatkan kembali kepada junjungan kita Rasulallah saw. sebagai penghulu para Nabi dan Rasul ! Mengapa justru golongan pengingkar melarang dan membid’ahkan munkar orang yang sedang memperingati hari kelahiran Rasulallah saw.?
Lupa adalah salah satu ciri kelemahan yang ada pada setiap orang, tidak pandang apakah ia berpikir cerdas atau tidak. Kita sering mendengar orang berkata : Summiyal-Insan liannahu mahallul khatha’i wan-nisyan (dinamakan manusia/Insan karena ia tempat kekeliruan dan kelupaan/nisyan). Dengan demikian lupa sering digunakan orang untuk beroleh maaf atas suatu ke salahan atau kekeliruan yang telah diperbuat. Bahkan di Al-Qur’an dalam surat Al-Kahfi : 63 terdapat isyarat bahwa lupa adalah dorongan setan, yaitu ketika murid (pengikut) Nabi Musa as. menjawab pertanyaan beliau dengan mengatakan: ‘Tidak ada yang membuatku lupa mengingat (makanan) itu kecuali setan’.
Satu-satunya obat untuk dapat mencegah atau menyembuhkan penyakit lupa yaitu peringatan. Bila orang telah di ingatkan atau diberi peringatan, ia tidak mempunyai alasan lagi untuk menyalahgunakan lupa agar beroleh maaf atas perbuatannya yang salah itu. Kata dzikir, dzakkara atau dzikra (ingat, mengingatkan, peringatan dan seterusnya) adalah sempalan kata lain dari akar kata dzikir yang berulang-ulang ditekankan dalam Al-Qur’an.
Bahkan para Nabi dan Rasul termasuk junjungan kita Nabi Muhammad saw disebut juga sebagai Mudzakkir yakni Pemberi ingat. Dengan tekanan makna yang lebih tegas dan keras, para Nabi dan Rasul disebut juga sebagai Nadzir yakni pemberi peringatan keras kepada manusia yang menentang kebenaran Allah swt.
Dengan keterangan singkat diatas jelaslah betapa besar dan penting masalah peringatan dan mengingatkan. Tujuannya adalah agar manusia sebatas mungkin dapat terhindar dari penyakit lupa dan lalai yang akan men- jerumuskannya kedalam pemikiran salah dan perbuatan sesat. Itulah masalah yang melandasi pengertian kita tentang betapa perlunya kegiatan memperingati maulid Nabi Muhammad saw.. Peringatan maulid Nabi saw. ini merupakan amal kebaikan yang sangat dianjurkan. Banyak sekali dalil naqli maupun ‘aqli yang mendukung dan membenarkan kegiatan yang baik itu. Bukan lain adalah Al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan betapa mulianya dan betapa terpujinya kegiatan memperingati kelahiran para Nabi dan Rasul.
Cara-cara memperingati hari-hari Allah
Tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat atau memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari tertentu. Juga tidak ditetap- kan peringatan itu harus dilakukan secara berjama’ah ataupun secara individual. Begitu juga halnya dengan peringatan maulid, dapat diadakan setiap waktu, boleh secara individu atau berjama’ah. Sudah tentu waktu yang paling tepat ialah pada hari turunnya nikmat Allah. Dalam hal mem- peringati maulid Nabi saw. waktu yang paling sesuai adalah pada bulan Rabiul-awal (bulan kelahiran Rasulallah saw.). Akan tetapi mengingat besarnya manfaat peringatan maulid ini dan mengingat pula bahwa dengan cara berjama’ah lebih utama dan lebih banyak barakah, maka peringatan maulid dapat diadakan pada setiap kesempatan yang baik secara berjama’ah.
Misalnya pada hari-hari mengkhitankan anak-anak, pada waktu hari pernikah an, pindah rumah, pelaksanaan nadzar yang baik, beroleh rizki yang banyak dan lain sebagainya. Bagaimana pun juga setiap acara-acara yang penting yang di-isi atau diselenggarakan maulid Nabi saw. menurut pandangan Islam pasti jauh lebih baik dan lebih bermanfaat daripada di-isi dengan acara-acara lain yang hanya bersifat bersenang-senang saja tanpa makna.
 Mengenai diselenggarakannya peringatan hari-hari Allah pada hari-hari ulang tahun turunnya nikmat, terdapat hadits shohih yang dapat dijadikan dalil, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim tentang puasa pada hari ‘Asyura. Karena puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan oleh Rasulallah saw. setelah beliau melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini berpuasa pada hari itu? Mereka menjawab; ‘Pada hari ini Allah swt. menyelamatkan Nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka’. Kemudian Nabi saw. menjawab: ‘Kami lebih berhak memper- ingati Musa dari pada kalian’! (Nahnu aula bi muusaa minkum).
 Kecuali itu terdapat hadits lainnya, diketengahkan oleh Ibnu Taimiyah dari hadits Ahmad bin Hanbal yang menuturkan sebagai berikut: “Aku mendengar berita, pada suatu hari sebelum Rasulallah saw. tiba (disuatu tempat di Madinah) diantara para sahabatnya ada yang berkata: ‘Alangkah baiknya jika kita menemukan suatu hari dimana kita dapat berkumpul untuk mem- peringati nikmat Allah yang terlimpah kepada kita’. Yang lain menyahut: ‘Hari Sabtu!’. Orang yang lain lagi menjawab; ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Yahudi’! Terdengar suara yang mengusulkan; ‘Hari Minggu saja’! Dijawab oleh yang lain: ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Nasrani’! Kemudian menyusul yang lain lagi berkata; ‘Kalau begitu, hari ‘Arubah saja’! Dahulu mereka menamakan hari Jum’at hari ‘Arubah. Mereka lalu pergi berkumpul dirumah Abu Amamah Sa’ad bin Zararah. Dipotonglah seekor kambing cukup untuk dimakan bersama“. (Iqtidha’us Shirathil Mustaqim).
 Kecuali dua hadits tersebut diatas terdapat hadits lainnya lagi yang juga di ketengahkan oleh Bukhori dan Muslim mengenai nyanyian yang didendang- kan oleh sekelompok muslimin, untuk memperingati hari bersejarah. Peristiwanya terjadi dikala Rasulallah saw. masih hidup ditengah ummatnya. Nyanyian itu justru didendangkan orang ditempat kediaman Rasulallah saw. sekaitan dengan datangnya hari raya ‘Idul Akbar. Peringatan demikian itu di lakukan juga oleh sekelompok muslimin sekaitan dengan hari bersejarah lain nya, yakni hari Biats yaitu hari kemenangan suku-suku Arab melawan Persia, sebelum Islam.
Pada hari itu Abubakar dan ‘Umar [ra] berusaha mencegah sejumlah wanita berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Anshar. Melihat Abubakar dan ‘Umar berbuat demikian itu, Rasulallah saw. menegor dua orang sahabatnya ini. Beliau saw. minta agar kedua-duanya membiarkan mereka merayakan hari besar dengan cara-cara yang sudah biasa dipandang baik menurut tradisi dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hadits yang berasal dari Ummul mukminin ‘Aisyah ra itu lengkapnya sebagai berikut:
“Pada suatu hari Abubakar Ash-Shiddiq ra datang kepada ‘Aisyah ra (putri nya). Pada saat itu dikediaman ‘Aisyah r.a. ada dua orang wanita Anshar sedang menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh kaum Anshar pada hari Bi’ats. Siti ‘Aisyah ra. memberitahu ayahnya, bahwa dua orang wanita yang sedang menyanyi itu bukan biduanita. Abubakar menjawab: ‘Apakah seruling setan dibiarkan dalam tempat kediaman Rasulallah?’ Peristiwa tersebut terjadi pada hari raya. Menanggapi pernyataan Abubakar ra., Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Abubakar, masing-masing kaum mem- punyai hari raya, dan sekarang ini hari raya kita’ “. (Shohih Muslim III/210 dan Shohih Bukhori 1/170).
Yang dimaksud dalam hadits kata hari raya kita ialah hari terlimpahnya nikmat Allah swt.kepada kita, oleh karenanya kita boleh merayakannya. Berdasarkan riwayat yang berasal dari Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. itu Bukhori dan Muslim memberitakan, bahwa “didalam tempat kediaman Nabi saw. pada saat itu terdapat dua orang wanita sedang bermain rebana (gendang)”.
 Dalam shohih Bukhori 1/119 diriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra yang berkata: “Pada suatu hari Rasulallah saw. datang kepadaku. Saat itu dirumah terdapat dua orang wanita sedang menyanyikan lagu-lagu Bi’ats. Beliau saw. lalu berbaring sambil memalingkan muka. Tak lama kemudian datanglah Abubakar (ayah ‘Aisyah). Ia marah kepadaku seraya berkata; ‘Apakah seruling setan dibiarkan berada dirumah Rasulallah ?’….Mendengar itu Rasulallah saw. segera menemui ayahku lalu berkata: ‘Biarkan sajalah mereka’! Setelah Abubakar tidak memperhatikan lagi keberadaan dua orang wanita itu, mereka lalu keluar meninggalkan tempat”.
 Riwayat lainnya memberitakan, bahwa “pada hari-hari perayaan Muna, Abubakar ra. datang kepada Siti ‘Aisyah ra. Ketika itu dirumah isteri Nabi saw. terdapat dua orang wanita sedang menyanyi sambil menabuh/memukul rebana. Saat itu Rasulallah saw. sedang menutup kepala dengan burdahnya. Oleh Abubakar dua orang wanita itu dihardik. Mendengar itu Rasulallah saw. sambil menanggalkan burdah dari kepalanya berkata : ‘Hai Abubakar, biarkan mereka, hari ini hari raya’ “!
 Siti ‘Aisyah ra juga pernah menceriterakan pengalamannya sendiri; “Aku teringat kepada Rasulallah saw.disaat beliau sedang menutupi diriku dengan bajunya (yang dimaksud adalah hijab/kain penyekat), agar aku dapat menyaksikan beberapa orang Habasyah (Ethiopia) sedang bermain hirab (tombak pendek) didalam masjid Nabawi (di Madinah). Beliau saw. merentang bajunya didepanku agar aku dapat melihat mereka sedang bermain. Setelah itu aku pergi meninggalkan tempat. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.
 Dalam shohih Muslim ketika itu ‘Aisyah ra mengatakan: “Aku melihat Rasulallah saw. berdiri didepan pintu kamarku, pada saat beberapa orang Habasyah sedang bermain hirab didalam masjid Nabawi. Kemudian beliau saw. merentangkan baju didepanku agar aku dapat melihat mereka bermain. Setelah itu aku pergi. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.
 Dalam hadits yang lain lagi Siti ‘Aisyah ra.menuturkan: “ Pada suatu hari raya beberapa orang kulit hitam negro dari Habasyah bermain darq (perisai terbuat dari kulit tebal) dan hirab. Saat itu, entah aku yang minta kepada Rasulallah saw. ataukah beliau yang bertanya kepadaku: ‘Apakah engkau ingin melihat’? Aku menjawab: ‘Ya’. Aku lalu diminta berdiri di belakang beliau demikian dekat hingga pipiku bersentuhan dengan pipi beliau. Kepada orang-orang yang bermain-main itu Rasulallah saw. ber- sabda: ‘Hai Bani Arfidah…teruskan, tidak apa-apa’! Kulihat mereka terus ber- main hingga merasa jemu sendiri. Kemudian Rasulallah saw. bertanya kepadaku; ‘Sudah cukup’? Kujawab; ‘Ya’. Beliau lalu menyuruhku pergi, ‘kalau begitu pergilah’ “!.
 Dalam Shohih Muslim diriwayatkan juga sebuah hadits berasal dari ‘Atha ra yang menuturkan bahwa yang bermain-main itu entah orang-orang Persia, entah orang-orang Habasyah (Ethiopia). Mereka bermain hirab didepan Rasulallah saw. Tiba-tiba ‘Umar Ibnul Khattab datang, ia lalu mengambil beberapa buah kerikil dan dilemparkan kepada mereka. Ketika melihat kejadian tersebut Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Umar, biarkan saja mereka’!
Sekarang telah kita ketahui, bahwa bentuk perayaan atau peringatan sebagaimana yang dituturkan oleh hadits-hadits tersebut diatas ternyata bermacam-macam. Ada yang berupa ibadah puasa, ada yang dengan cara memotong kambing lalu dimakan bersama, ada yang merayakan dengan nyanyian, dan mendeklamasikan sya’ir-sya’ir sambil memukul rebana dan ada pula yang merayakan dengan bermain-main tombak serta perisai. Semua ini diriwayatkan oleh para sahabat Nabi terdekat, bahkan oleh isteri beliau saw. sendiri yang langsung menyaksikan. Semua riwayat ini kemudian dicatat dan diberitakan oleh para Imam ahli hadits seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Bukhori dan Muslim radhiyallahu ‘anhum agar diketahui oleh segenap kaum muslimin.
Dalam hadits-hadits itu telah diketahui pula bahwa Rasulallah saw. mem- benarkan dan membolehkan diadakannya perayaan-perayaan atau peringat an-peringatan hari bersejarah, terutama sekali hari-hari pelimpahan nikmat Allah swt. kepada ummat manusia. Beliau saw. tidak pernah mengatakan perayaaan atau peringatan itu perbuatan kufur atau bid’ah dhalalah/sesat! Kita mengetahui pula bahwa Abubakar ra menyebut nyanyian sebagai seruling setan dan ‘Umar ra melempari orang-orang yang bermain tombak dengan kerikil. Akan tetapi kita pun mengetahui juga bahwa Rasulallah saw. seketika itu juga menegor Abubakar dan ‘Umar karena dua orang sahabat Nabi itu berusaha melarang nyanyian (yang baik, tentunya) teriring bunyi rebana, dan menghalangi orang-orang bermain tombak dalam merayakan hari besar bersejarah itu.
Beliau saw. menegor dua orang sahabat tersebut karena beliau tidak memandang permainan-permainan atau perayaan-perayaan itu sebagai perbuatan kufur, ma’siyat dan tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Dua sahabat Nabi saw. menerima tegoran Nabi saw. dengan jujur dan ikhlas.
Dalam shohih Muslim halaman 168 juga memperkuat dalil-dalil keabsahan peringatan maulid (kelahiran) Nabi saw. yaitu mengenai puasa setiap hari Senin yang dilakukan oleh Nabi saw. Beberapa orang sahabat beliau saw. bertanya apa sesungguhnya motifasi beliau berpuasa tiap hari Senin? Beliau saw. menjawab: “Pada hari itu yakni hari Senin adalah hari kelahiranku dan hari turunnya wahyu (pertama) kepadaku”. Dengan adanya hadits ini kita memandang bahwa hari Senin sebagai hari yang bersejarah, karena men- cakup dua peristiwa besar. Jika Rasulallah saw. sendiri berpuasa setiap hari Senin untuk memperingati dan mensyukuri hari kelahiran beliau sendiri, bukankah sangat utama jika kita sebagai ummat beliau saw. berbuat mengikuti jejak beliau yaitu giat memperingati hari maulid beliau setiap tahun, bahkan tiap minggu (tiap hari Senin)? Dalam hal ini mengapa harus di munkarkan atau disesatkan…?
Pernyataan beliau saw. itu bisa dipandang sebagai dalil syar’i mengenai ke absahan peringatan maulid Nabi saw. Jawaban beliau saw. yang meng- hubungkan hari kelahiran beliau dengan hari turunnya wahyu pertama (hari bi’tsah kenabian) kepada beliau, menunjukkan ketinggian martabat hari kelahiran (maulid) nabi sebagai hari terlimpahnya nikmat Allah swt. Dengan demikian sudah semestinyalah kita memandang hari maulid beliau saw. sebagai hari besar dan mulia yang perlu diperingati sewaktu-waktu.
Begitu juga Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’us-Shriathil-Mustaqim, mengata- kan: “Memuliakan hari maulid Nabi dan menyelenggarakan peringatannya secara rutin banyak dilakukan orang. Mengingat maksudnya yang baik dan bertujuan memuliakan Rasulallah saw., adalah layak jika dalam hal itu mereka beroleh ganjaran pahala besar. Sebagaimana telah saya katakan kepada anda, bahwa bisa jadi sesuatu yang dianggap buruk oleh seseorang mu’min yang lurus ada kalanya dianggap baik oleh orang lain”.
Soal bentuk dan cara pelaksanaan peringatan maulid dapat selalu berubah, berbeda dan berkembang sesuai dengan perubahan, perbedaan dan per- kembangan masyarakat setempat pada setiap zaman. Syari’at Islam hanya menetapkan kewajiban mengingat nikmat Allah swt., dan ini dapat dilaksanakan pada tiap kesempatan dan tiap keadaan. Adapun bentuk dan caranya boleh saja mengikuti kelaziman yang biasa berlaku dalam masyarakat, asal- kan tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal yang demikian ini banyak sekali contohnya yang dapat dikemukakan, misalnya:
 Soal thawaf, sa’yu, wuquf dipadang ‘Arafah dan beberapa manasik haji yang lain, semuanya itu adalah ketentuan-ketentuan yang tidak boleh diubah dan diganti, semuanya telah ditetapkan oleh nash. Ibadah haji adalah suatu kewajiban bagi tiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat. Akan tetapi orang boleh memilih bagaimana cara dia berangkat kesana misalnya dengan berjalan, berkendara- an mobil, dengan kapal laut, dengan pesawat terbang dan sebagainya.
 Pembacaan Al-Qur’an; orang boleh juga memilih apakah ia lebih suka membaca ayat demi ayat yang tertulis dalam kitab suci itu, ataukah hendak membacanya secara hafalan. Dia boleh memilih juga cara membacanya dengan sendirian atau membaca bersama dengan jama’ah.
 Cara pembacaan do’a; orang boleh mengutarakan sendiri apa yang menjadi isi hati dan permohonannya atau dengan membaca kumpulan-kumpulan kalimat tertentu yang telah disiapkan oleh para ahli penyusun do’a.
 Dalam hal menunaikan zakat dan shadaqah atau infak; orang boleh memilih cara yang dipandangnya terbaik. Ia boleh menyerahkan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya, atau lewat panitia-panitia pengumpul zakat, badan-badan amal atau lembaga lembaga social.
 Demikian juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw.. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya. Banyak sekali kewajiban yang diperintahkan syari’at, yang pelaksanaannya kita sesuaikan dengan keadaan masyarakat pada kurun waktu tertentu. Mengenai soal-soal itu banyak sekali dalil dapat kita ketemukan.
Kesimpulan keterangan diatas ini ialah segala sesuatu yang menghasilkan maslahat/kebaikan bagi dirinya atau masyarakat itu boleh dan baik diamal- kan dengan cara bagaimana pun selama cara ini tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Lebih utama lagi jika pilihan kita itu sejalan dengan ijma’ (kesepakatan) para alim-ulama. Imam Syafi’i menegas kan: “Hal ihwal baru yang diadakan, jika itu menyalahi Kitabullah atau Sunnah, atau ijma’ atau hadits (atsar), itu adalah bid’ah dhalalah (bid’ah sesat). Hal ihwal baru berupa kebajikan, yang diadakan tidak menyalahi ketentuan-ketentuan tersebut, itu terpuji”. Imam Al-’Izz bin ‘Abdi-Salam, Imam Nawawi demikian juga Ibnu Atsir semuanya sependapat dengan apa yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i.
Sebagaimana juga yang telah dikemukakan bahwa para sahabat sering pada zamannya Nabi saw mengerjakan bid’ah/soal-soal baru mengenai bacaan-bacaan didalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah dianjurkan atau diperintahkan oleh Nabi saw. untuk diamalkannya. Setelah dipertimbangkan masalah-masalah tersebut oleh beliau saw. dan dipandang tidak menyalahi ajaran-ajaran pokok agama dan tidak berlawanan dengan hukum-hukumnya, beliau saw. membiarkan dan malah meridhai perbuatan-perbuatan mereka. Atas dasar itulah para ulama Figih (hukum Islam) bersepakat menetapkan, ‘pada dasarnya segala sesuatu kaidah ada lah mubah atau halal, kecuali ada nash yang sah dan tegas dari Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. (hadits-hadits shahih) yang mengharamkan masalah itu’. Untuk lebih jelasnya silahkan baca keterangan apa yang dimaksud Bid’ah dalam hadits Rasulallah saw. pada bab “Bid’ah yang dipermasalahan“ di buku ini, dengan demikian kita bisa menilai sendiri mana yang disebut bid’ah dholalah / sesat dan bid’ah yang dibolehkan oleh syari’at.
Nama kitab-kitab yang menulis riwayat hidup Rasulallah saw.
Menurut riwayat pada malam Rasulallah saw. dilahirkan tidak seperti malam-malam manusia lain dilahirkan. Peristiwa yang tertulis didalam hadits ter- masuklah getaran yang dirasakan di istana ‘Chosroes’ dan padamnya api yang telah menyala selama 1000 tahun di Persi dan beberapa peristiwa lain yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidaya jilid 2 halaman 265-268.
Dalam kitab al-Madhkal oleh Ibnu al-Hajj jilid 1 halaman 261 disebutkan: “Menjadi satu kewajiban bagi kita untuk memperbanyak kesyukuran kepada Allah setiap hari Senin bulan Rabi’ul Awwal karena Dia (Allah swt.) telah mengurniakan kepada kita nikmat yang besar yaitu diutus-Nya Nabi saw. untuk menyampaikan Islam”.
Sering kita baca atau dengar didalam peringatan maulidin Nabi saw. orang-orang membaca kitab-kitab maulid yang ditulis oleh para ulama pakar setelah zaman Nabi saw dan para sahabat. yang dikitab-kitab itu di ceriterakan riwayat tentang kelahiran Nabi saw., keutamaan, kebesaran dan mukjizat-mukjizat beliau saw. dan lain sebagainya. Kami akan mengutip beberapa saja nama ulama dan kitab maulid mereka berikut ini:
 Dalam kitab Kasyfudz-Dzunun dikemukakan bahwa orang pertama yang menulis kitab Maghazi (Manakib atau perilaku kehidupan Nabi Muhammad saw.) ialah Muhammad bin Ishaq terkenal dengan nama Ibnu Ishaq wafat pada tahun 151 H (pada zaman tabi’in). Dengan indah dan cemerlang ia menguraikan riwayat maulid Nabi serta menjelaskan berbagai manfaat yang dapat dipetik dari bentuk-bentuk peringatan, seperti walimah, shadaqah dan kebajikan-kebajikan lainnya yang semuanya bersifat ibadah.
Dapat dipastikan masa hidupnya Muhammad bin Ishaq ini pada zaman yang menurut sejarah Islam disebut zaman kaum Tabi’in. Karenanya dapatlah di simpulkan, bahwa semua yang ditulis dan diterangkan olehnya berasal dari orang-orang yang menyaksikan sendiri kehidupan para sahabat Nabi saw.. Hasil penulisannya kemudian diteruskan pada zaman berikutnya oleh Ibnu Hisyam, wafat dalam tahun 213 H. Ia menulis riwayat tentang perilaku ke hidupan Nabi saw., dan berhasil menyelesaikannya dengan baik, sehingga ia dianggap sebagai penulis pertama riwayat kehidupan Nabi saw. Dengan menulis kitab mengenai itu Ibnu Hisyam tidak bermaksud menghimpun semua nash yang pernah diucapkan oleh Rasulallah saw. atau oleh para sahabat terdekat beliau saw.. Meski pun demikian ternyata buah karyanya beroleh sambutan baik dan dibenarkan oleh para ulama dan para pemuka masyarakat Islam. Tidak lain semuanya ini bertujuan memelihara dan me lestarikan data sejarah kehidupan Nabi saw.
 Adapun orang pertama yang menulis kitab maulid Nabi dan kemudian dibaca didepan umum dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh para penguasa daulat ‘Abassiyah, adalah Imam Al-Hafidz Hujjatul Islam Al-Qadhi ‘Askar Amirul Mu’minin Muhammad Al-Mahdi Al-‘Abbasi wafat tahun 207 H . Imam ini adalah orang pertama yang menghimpun hadits-hadits para sahabat Nabi saw. mengenai kebajikan dan pahala membaca riwayat maulid Nabi saw.. Sedangkan para imam lainnya dalam menulis kitab-kitab maulid banyak mengambil dari Al-Waqidi, kitab rujukan yang banyak dibaca dalam peringatan-peringatan maulid yang diadakan oleh para Khalifah dan menteri-menterinya. Kecuali itu kitab tersebut juga banyak dibaca didalam per- guruan-perguruan agama Islam pada hari-hari peringatan dan hari-hari raya, pada bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Sehingga kitab maulid karya Al-Waqidi ini banyak dihafal oleh kaum muslimin dan anak-anak keturunan mereka.
 Allamah Nuruddin ‘Ali dalam kitabnya yang berjudul Wafa-ul-Wafa bi Akhbari Daril-Mushtofa mengatakan bahwa Siti Khaizuran, bunda Musa Amirul Mu’minin, pada tahun 170 H sengaja datang ke Madinah, lalu menyuruh penduduk menyelenggarakan peringatan maulid Nabi saw. di dalam masjid Nabawi.
 Imam Al-Jauzi (Al-Hafidz Jamaluddin ‘Abdurrahman Al-Jauzi) seorang imam madzhab Hanbali wafat tahun 567 H mengatakan; “Manfaat istimewa yang terkandung dalam peringatan maulid Nabi saw. ialah timbulnya perasaan tenteram disamping kegembiraan yang mengantarkan ummat Islam kepada tujuan luhur. Dijelaskan pula olehnya bahwa orang-orang pada masa Daulat ‘Abbasiyah dahulu memperingati hari maulid Nabi saw. dengan berbuat kebajikan menurut kemampuan masing-masing, seperti mengeluar- kan shadaqah, infak dan lain-lain. Selain hari maulid, mereka juga memper- ingati hari-hari bersejarah lainnya, misalnya hari keberadaan Nabi saw. di dalam goa Hira sewaktu perjalanan hijrah ke Madinah. Penduduk Baqdad memperingati dua hari bersejarah itu dengan riang gembira, berpakaian serba bagus dan banyak berinfak.
 Imam Nawawi (Al-Hafidz Muhyiddin bin Syarat An-Nawawi) yang wafat dalam tahun 676 H bahkan mensunnahkan peringatan maulid Nabi saw.. Fatwa Imam Nawawi tersebut diperkuat oleh Imam Al-Asqalani (Al-Hafidz Abul-Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-‘Asqalani) yang wafat dalam tahun 852 H. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, Imam Al-‘Asqalani memastikan bahwa memperingati hari maulid Nabi saw. dan mengagungkan kemuliaan beliau merupakan amalan yang mendatangkan pahala.
 Seorang ulama terkenal, Imam Taqiyyuddin ‘Ali bin ‘Abdul-Kafi As-Sabki  wafat tahun 756 H menulis kitab khusus tentang kemuliaan dan kebesaran Nabi Muhammad saw. Bahkan ia menfatwakan, barangsiapa menghadiri pertemuan untuk mendengarkan riwayat maulid Nabi Muhammad saw. serta keagungan maknanya ia memperoleh barokah dan ganjaran pahala.
 Imam Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali bin Hajar Al-Haitsami As-Sa’di Al-Anshari Asy-Syafi’i wafat tahun 973 H menulis kitab khusus mengenai kemuliaan Nabi saw.. Ia memandang hari Maulid Nabi saw. sebagai hari raya besar yang penuh barokah dan kebajikan.
 Imam ‘Abdur-Rabi’ Sulaiman At-Thufi As-Shurshuri Al-Hanbali terkenal dengan nama Ibnul-Buqiy wafat tahun 716 H. Ia menulis sajak dan sya’ir-sya’ir bertema pujian memuliakan keagungan Nabi Muhammad saw., ke agungan yang tidak ada pada manusia lain mana pun juga. Tiap hari maulid Nabi para pemimpin Muslim berkumpul dirumahnya. Ia lalu minta salah seorang dari hadirin supaya mendendangkan sya’ir-sya’ir Al-Buqiy itu.
 Dalam kitab Insanul-‘Uyun Fi Siratil-Amin Al-Ma’mum bab 1, Imam ‘Ali bin Burhanuddin Al-Halabi mengatakan: “Kebiasaan berdiri pada saat orang mendengar pembaca riwayat maulid menyebut detik-detik kelahiran Nabi saw., memang merupakan bid’ah hasanah/baik, bid’ah mahmudah/terpuji, sama sekali bukan bid’ah dholalah atau bid’ah madzmumah/tercela atau munkarah (bid’ah buruk yang tercela). Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. sendiri menamakan shalat tarawih berjama’ah sebagai bid’ah hasanah. Dengan demikian maka orang yang berdiri sebagai tanda penghormatan pada saat mendengar detik-detik kelahiran Nabi saw. disebut, apalagi jika peringatan maulid itu dibarengi dengan kegiatan infak dan shadaqah, semua nya itu jelas merupakan kegiatan terpuji.
 Ibnu Bathuthah dalam buku catatan pengembaraannya menceriterakan kesaksiannya sendiri tentang bentuk dan cara memperingati maulid Nabi saw. yang dilakukan oleh Sultan Tunisia, Amirul Mu’minin Abul-Hasan, pada tahun 750 H. Ia mengatakan bahwa Sultan ini pada hari maulid Nabi Muhammad saw. mengadakan pertemuan umum dan terbuka dengan rakyat nya dan bagi semua yang hadir disediakan hidangan makan-minum secukup nya. Untuk itu Sultan menyediakan anggaran belanja beribu-ribu dinar (uang emas). Ia membangun kemah-kemah raksasa untuk tempat pejabat pemerintahan dan undangan-undangan lainnya. Dalam pertemuan itu di dengungkan sajak-sajak dan sya’ir-sya’ir pujian kepada Nabi Muhammad saw. dan diuraikan pula riwayat kehidupan beliau saw..Peringatan maulid dalam bentuk seperti ini juga dituturkan oleh penulis kitab Murujudz-Dzahab. Ia menyebut berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun 738 H.
 Sultan Ibril, Mudzaffar wafat tahun 620 H semasa hidupnya sangat menaruh perhatian terhadap peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang di selenggarakan tiap tahun. Dua bulan sebelum bulan Rabi’ul-awwal, ia sudah mulai sibuk mempersiapkan segala kegiatan guna memeriahkan peringatan maulid. Tidak terhitung banyaknya ulama-ulama dari berbagai negeri Islam yang datang ke Ibril untuk menghadiri peringatan maulid Nabi Muhammad saw.. Mereka mengharap beroleh keberkahan dengan datangnya hari yang mulia itu. Konon biaya yang dihabiskan untuk keperluan peringatan maulid seperti itu tidak kurang dari dua ratus ribu dinar tiap tahun. Demikian juga menurut pengembara yang lain lagi, Ibnu Khalkan. Dalam sebuah buku yang ditulisnya ia mengetengahkan keanehan-keanehan Sultan Mudzaffar.
Untuk menyingkat halaman dibuku, kami hanya kutip nama para ulama lainnya yang menulis kitab maulid Nabi saw. ialah: Imam Al-Hafidz Syihabul-Millah wa Ad-Din Ahmad bin Hajar wafat tahun 973 H; Imam Abul-Khattab ‘Umar bin Al-Hasan Dzun-Nasabain wafat tahun 604 H atas permintaan Sultan Ibril ia menulis kitab maulid; Imam Al-Hafidz Abul-Faraj Ibnul-Jauzi nama kitabnya Al-Arus terkenal dengan nama Kitab Maulid Ibnul-Jazi ditulis olehnya pada tahun 590 H ; Allamah Imam Yusuf An-Nabhani ; Imam Jamaluddin As-Sayuti ; Imam Rabi’ At-Thufi Ash-Shurshuri nama kitabnya Maulid Ash-Shurshuriy, ia menulis kitab ini sekitar tahun 700 H ; Imam Al-Hafidz Abul-Hasan ‘Ali Al-Mas’udiy wafat tahun 346 H kitab maulidnya terkenal dengan nama Kitab Maulid Al-Mas’udi.;
Imam Ash-Shalih As-Sayyid Al-Bakri dikenal dengan kitabnya Kitab Maulid Al-Bakri ; Imam Mar’i bin Yusuf Al-Maqdisi wafat tahun 1033 H nama kitab maulidnya Kitab Maulid Al-Maqdisi Al-Hanbali ; Allamah ‘Utsman bin Sind wafat tahun 205 H menulis kitab maulid dalam bentuk sya’ir dengan tema memuji dan mengagungkan Rasulallah saw.; Syeikh Hasan Asy-Syathi wafat tahun 1274 H dan Al-‘Allamah Abus-Surur Asy-Sya’rawi wafat tahun 1136 H kedua-duanya telah menulis kitab maulid. Seorang ulama ahli tafsir dari madzhab Hanbali Muhammad bin ‘Utsman bin ‘Abbas Ad-Dumani Al-Manawi menulis kitab maulid terkenal sangat indah; Al-‘Allamah Al-Ustadz As-Sayyid Rasyid Ridha, pemimpin majalah Al-Manar telah menulis kitab maulid yang banyak dibaca oleh kaum Muslimin di Mesir. Selain ulama masa lampau pada zaman-zaman berikutnya hingga zaman kita sekarang ini masih tetap banyak ulama yang menulis kitab-kitab maulid Nabi Muhammad saw.. Diantaranya: As-Sayyid Muhammad Shalih As-Sahruwardi judul kitabnya Tuhfatul-Abrar fi Tarikh Masyru’iyyatil-hafl Bi Yaumi Maulid An-nabiyyil-Mukhtar. Dalam kitabnya ini dia mengemukakan dalil-dalil meyakinkan tentang keabsahan peringatan maulid Nabi Muhamad saw. sebagai ibadah sunnah yang ditekankan (sunnah mu’akkadah), agar kaum muslimin melaksanakannya dengan baik. Dan masih banyak lagi nama-nama para ulama yang menulis kitab-kitab mengenai maulidin Nabi saw, yang tidak tercantum disini.
Insya Allah para pembaca lebih mantep dan jelas bahwa peringatan Maulid ini sudah ratusan tahun yang lalu dikenal dan dijalankan oleh para ulama dan para Salaf dan Khalaf. Peringatan-peringatan maulid Nabi sudah biasa juga diadakan oleh raja-raja serta sultan-sultan di Turki, Mesir, Iraq, India dan diberbagai negeri Islam lainnya, termasuk Indonesia. Tentu saja dengan cara dan dalam bentuk yang berbeda-beda variasi, sesuai dengan adat ke biasaan setempat.
Dengan adanya keterangan singkat diatas ini saja kita bisa bertanya: Mengapa golongan pengingkar berani mengharamkan, mensesatkan, men- syirikkan dan lain sebagainya peringatan maulidin Nabi saw. yang mulia ini tanpa berdalil dengan nash yang jelas, hanya sering berdalil bahwa Nabi saw. dan para sahabatnya tidak pernah melakukan atau memerintahkannya? Apakah para ulama pakar yang telah dikemukakan diatas itu tidak mengerti hukum syari’at Islam dan hanya ulama golongan pengingkar ini saja yang mengerti?
Dalil-dalil dan hikmah yang berkaitan dan mengarah kebolehan peringatan Maulid
Dengan adanya majlis-majlis peringatan maulid tersebut meneguhkan iman kita serta membangkitkan kita lagi untuk selalu ingat dan cinta pada Allah dan Rasul-Nya, karena kehidupan manusia dibumi ini senantiasa berubah dan berkembang. Itu telah menjadi hukum kehidupan Sunnatulllah yang tidak mungkin dicegah oleh siapa pun. Kewajiban untuk meningkatkan kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulallah saw. itu sejalan dengan sunnahnya dan firman Allah. Firman Allah swt. yang mengingatkan ummat Muhammad yang mengakui mencintai Allah, untuk mencintai Rasul-Nya Muhammad saw., sebagaimana firman-Nya:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ
“Jika kamu mencintai Allah, ikutlah (dan cintai dan hormati) aku (Muhammad) , dan Allah akan mencintai kamu”.( Surat Aal-Imran : 31).
 Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulallah saw. telah bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى اَكُونَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَ وَلدِهِ وَ النَّاسِ اجْمَعِيْنَ.
“Tidak sempurna iman kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada anak, ibu-bapa dan manusia seluruhnya.”
 Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi saw. bersabda; “Tidak sempurna iman kamu sehingga aku kamu lebih cintai daripada diri kamu sendiri.” Umar bin Khattab ra berkata; “Ya Rasulallah aku mencintaimu lebih daripada diriku sendiri”.
 Mari kita rujuk lagi firman Allah swt. berikut ini:
لَقَدْ كَانَ في قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأوْلِى الألْبَابِ
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu (para Nabi dan Rasul) terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal”. ( S.Yusuf :111).
 Dan firman-Nya:
وَكُلاًّ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أنْبَاءِ الرُسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَك
“Dan semua kisah para Rasul kami ceriterakan kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu “. ( S. Hud : 120 )
 Firman-Nya: “Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang kebesaran) Allah, itu sesungguhnya (timbul) dari hati yang takwa” (S. Al-Hajj : 32)
 Firman-Nya: “Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia disisi Allah, itulah yang terbaik baginya disisi Tuhannya”. ( Al-Haj : 30)
Allah swt. didalam kitab suci Al-Qur’an telah menceriterakan riwayat-riwayat para Nabi dan Rasul berulang–ulang dibeberapa Surah. Umpama riwayat Nabi Isa as. dalam surah Maryam, disini kisah beliau mulai kelahirannya hingga dewasa, bahkan dikisahkan juga da’wah dan mu’jizatnya. Juga riwayat Nabi Ibrahim as banyak dalam Al-Qur’an, Nabi Yusuf as., Nabi Sulaiman as. dan nabi-nabi lainnya. Allah mengisahkan bagaimana kehidup- an, kemuliaan/kedudukan para Rasul ini dan lain sebagainya. Tidak lain tujuan dan maksud Allah swt. untuk mengisahkan riwayat para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya yang telah dikemukakan tadi adalah jelas untuk dijadikan pelajaran dan memperteguh iman dalam hati.
Jadi kalau kisah para Nabi dan Rasul yang lain saja sudah sedemikian besar arti dan manfaatnya, apalagi kisah kelahiran dan kehidupan junjungan kita Nabi besar Muhammad saw., yang telah diriwayatkan sebagai penghulu para Nabi dan Rasul!
Begitu juga telah dikemukakan bahwa diantara tanda-tanda orang yang ber- taqwa adalah orang yang mau mengagungkan syi’ar Allah swt. dan orang yang mengagungkan apa yang mulia disisi Allah swt. itu adalah yang terbaik baginya disisi Allah swt. Tidak diragukan lagi Rasulallah saw. adalah makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Ilahi, dengan kenabian dan ke-Rasul-annya, dengan segala mu’jizat termasuk mu’jizat yang ter- besar yaitu Al-Qur’an yang dikaruniakan Allah kepada beliau saw. adalah lambang kebenaran dan kebesaran (syi’ar) serta lambang kekuasaan Allah swt.. Memuliakan dan mengagungkan syi’ar Allah ini adalah bukti dari hati yang bertakwa kepada Allah swt.
Dalam hadits Rasuallah saw. kita diperintahkan untuk mencintai Rasulallah saw. melebihi dari anak-anak kita sendiri, orang tua dan manusia seluruh- nya. Keimanan kita tergantung dengan besarnya kecintaan kita kepada beliau saw. dan cinta kepada beliau saw. berarti kita cinta kepada Allah swt. yang mengutus Rasul-Nya ini. Dengan sering memperingati hari kelahiran Rasulallah saw. akan menambah kecintaan kita kepada Allah swt. dan kepada beliau saw. serta memantepkan hati kita untuk bisa mencontoh pribadi dan perjalanan beliau saw.
 Didalam majlis maulid ini selalu dikumandangkan sholawat, riwayat kisah Rasulallah saw. dan ceramah agama yang mana semuanya ini sangat baik dan sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ serta sejalan dengan kaidah-kaidah umum agama. Bahkan sholawat ini adalah perintah Allah swt. sebagaimana firman-Nya :
إنَّ اللهَ َمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِي
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat sentiasa bersalawat kepada Nabi” (QS 33:56). Seterusnya ayat ini disambung dengan perintah Tuhan,
يَآاَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
” Wahai orang-orang yang beriman berselawatlah kamu kepadanya “.
Arti shalawat Allah swt.pada ayat ini menurut ahli tafsir berarti pujian Allah swt. terhadap Nabi saw., pernyataan kemuliaannya serta maksud meninggi- kan dan mendekatkannya, begitu juga sholawat para Malaikat kepada beliau saw. untuk memuji dan memuliakan Rasulallah saw.. Dan orang yang beriman disuruh juga bersholawat dan bersalam pada beliau saw.
Ayat ini saja sudah menjadi bukti bahwa iman seseorang itu bergantung kepada dan dilahirkan melalui sholawat kepada Nabi saw. Ya Allah ! Limpahkanlah sholawat serta salam kepada Nabi, ahli keluarga beliau saw. dan para sahabat.
 Kita juga dianjurkan oleh Allah swt agar ingat-mengingatkan sesama muslim karena hal ini sangat bermanfaat bagi kita sebagaimana Firman-Nya:
وَذَكِّرْ فَإنَّ الِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ
“Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang orang yang beriman”. (Adz Dhariyat : 55)
 Juga kita dianjurkan selalu berbuat kebaikan yang mana kebaikan itu bisa menghapuskan dosa kita sebagaimana firman Allah swt:
اِنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّآتِ
“Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan”. (S. Hud : 114)
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang membaca riwayat maulidin Nabi saw. baik secara individu maupun berjama’ah adalah termasuk berbuat kebaikan. Sekali lagi, menarik kesimpulan arti firman-firman Allah dan hadits-hadits diatas ini bahwa kesempurnaan iman seseorang itu amat bergantung pada kecintaannya terhadap Rasulallah saw.. Kecintaan, ketaatan dan ke imanan pada Allah swt. dan Rasul-Nya, ini akan bertambah tebal dan mantep di hati kita bila selalu di ingatkan berulang-ulang dengan membaca dan mendengar riwayat kisah kehidupan Rasulallah saw. serta bersholawat pada beliau saw.!!
Pendapat para ulama dan tokoh cendekiawan Muslim
 Doktor Abdul Ghaffar Muhammad Aziz, guru besar ilmu da’wah pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, dalam makalahnya mengenai maulid yang dimuat di majalah Al-Islam antara lain sebagai berikut: “Memang ada sementara orang yang berpendapat terlampau keras dan secara mutlak tidak membenarkan adanya peringatan-peringatan ke agamaan dalam bentuk apa pun juga dan menganggapnya bid’ah yang tidak diakui oleh agama. Akan tetapi, saya berpendapat, peringatan–peringatan itu tidak ada buruknya, asal saja diselenggarakan menurut cara-cara yang sesuai dengan ajaran syari’at.
Tidak ada salahnya kalau peringatan Maulid, Isra Mi’raj atau peringatan-peringatan keagamaan lainnya, dengan mengadakan pidato-pidato, ceramah ceramah dan pelajaran khusus, baik di masjid-masjid, balai-balai pertemuan maupun lewat segala macam mas media. Peringatan akan dapat mengingat- kan kaum muslimin pada soal-soal yang bersangkutan dengan agama. Selama peringatan-peringatan itu berlangsung, mereka sekurang-kurangnya memperoleh kesegaran jiwa dan melepaskan sementara kesibukan sehari-hari mengenai urusan hidup kebendaan yang tiada habis-habisnya dan terus-menerus. Mengenai manfaat peringatan, Allah swt. telah berfirman sebagai berikut:
وَذَكِّرْ فَإنَّ الِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ
“Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang-orang yang beriman “. (Adz-Dhariyat : 55)
Peringatan keagamaan seperti ini, yang diselenggarakan tanpa berlebih-lebihan atau pemborosan yang tidak perlu, dapat dipandang sebagai sunnah hasanah (perjalanan baik) yang diakui oleh hukum syara’ bahkan diterima dengan baik dalam zaman kita sekarang. Zaman sekarang ini seakan-akan Allah swt. hendak meratakan dan melestarikan berlangsungnya per- ingatan-peringatan keagamaan itu sepanjang tahun. Seakan-akan Allah menghendaki supaya setiap orang Muslim dari saat kesaat selalu berada di dalam suasana Al-Qur’an, suasana sunnah Rasul-Nya dan suasana ke hidupan Islam, yang dari suasana segar seperti itu Allah menghendaki kebaikan bagi umat manusia.
Mulai dari bulan Muharram dengan segala kegiatan yang ada didalamnya sampai dengan bulan Rabiul Awal yang penuh peringatan-peringatan Maulid Nabi saw, sampai bulan Rajab dengan peringatan Isra Mi’raj, terus hingga bulan Sya’ban dan bulan turunnya Al-Qur’an Ramadhan disambung lagi dengan tiga bulan musim haji yaitu Syawal, Dzul Qi’dah dan Dzul Hijjah. Demikianlah suasana keagamaan berlangsung terus menerus dan berulang-ulang setiap tahun”.
 Seorang penulis Islam, Al-Ustadz Abdurrahim Al-Jauhari dalam makalah-nya antara lain menginginkan agar peringatan maulid Nabi saw. tidak hanya berlangsung dalam waktu sehari saja, tetapi supaya berlangsung selama sebulan penuh, agar para ulama memperoleh waktu yang cukup untuk menyebarluaskan nilai-nilai abadi yang terdapat didalam kehidupan Nabi saw. Karena dilihat dari besarnya pengaruh ajaran Rasulallah saw. didalam kehidupan bangsa-bangsa, baik secara sosial mau pun secara individual, maka kelahiran Nabi Muhammad saw. dapat dipandang sebagai suatu peristiwa terbesar dalam sejarah. Oleh karenanya perayaan peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang mulia itu harus disesuaikan dengan keagungan pribadi beliau dan harus pula disesuaikan dengan kebesaran pengaruhnya di seluruh dunia.
Ada pun mengenai resepsi-resepsi resmi yang diadakan untuk memperingati maulid Nabi saw. itu hanya dapat dianggap sebagai perayaan nasional bagi seluruh Negara yang mengakui Islam sebagai agama resmi.
 Doktor Muhammad Sayyid Ahmad Al-Musir, gurubesar ilmu ‘Aqidah dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin, dalam wawancara khusus dengan wartawan majalah Al-Liwa’ul Islamy menerangkan antara lain sebagai berikut: “Perayaan peringatan maulid Nabi saw. itu dengan jamuan/pesta makan dan minum sama sekali tak ada kaitannya dengan teladan mulia yang telah di berikan oleh Rasulallah saw. Akan tetapi perlu dimengerti, bahwa kami tidak melarang atau mengharamkan jenis-jenis tertentu dan makanan dan minuman yang disuguhkan dalam peingatan tersebut, tetapi yang kami sesali ialah ada sementara orang yang beranggapan bahwa bentuk-bentuk peringatan yang bersifat kebendaan itu merupakan bagian daripada peringat an maulid Nabi saw.
Pendapat sementara orang yang memandang peringatan maulid Nabi saw. atau peringatan keagamaan lainnya sebagai bid’ah, perbedaan kami dengan mereka (yang membid’ahkan peringatan-peringatan keagamaan–pen) ialah mengenai pengertian atau ta’rif tentang bid’ah dan sunnah. Mereka mengata kan bahwa ‘setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka’ sebagaimana yang terdapat di dalam hadits shahih.
Akan tetapi mereka itu melupakan sesuatu yang amat penting yaitu bid’ah yang disebut sesat (dholalah) dan yang tempatnya di neraka bukan lain adalah bid’ah yang di-isyaratkan oleh Al-Qur’an, yakni firman Allah swt.: ‘Mereka mensyari’atkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak diizinkan Allah ” (Asy-Syura:21)
Jadi bid’ah yang terlarang itu ialah penambahan bentuk peribadatan (yang pokok–pen) didalam agama. Hal ini sama sekali tidak terdapat dalam peringatan keagamaan yang diadakan, seperti peringatan maulid Nabi saw. dan peringatan keagamaan lainnya”.
 Pendapat Al-Ustadz Mahmud Syaltut tentang peringatan maulid Nabi saw. “Setelah abad-abad pertama Hijriyah (abad ke tujuh Masehi) di kalangan kaum muslimin mulai berlangsung kebiasaan mengadakan perayaan memperingati hari maulid Nabi saw. pada bulan Rabiul-Awal tiap tahun. Cara mereka memperingati maulid ini berbeda-beda menurut keada- an lingkungan dinegeri mereka masing-masing. Ada yang merayakan hari kelahiran Nabi saw. dengan menyiapkan makanan-makanan khusus yang pada umumnya tidak biasa dimakan sehari-hari, kemudian mereka makan bersama keluarganya pada malam 12 Rabiul awwal dalam suasana riang gembira.
Ada yang merayakan dengan menyediakan beberapa macam kue-kue manis yang khusus dibuat dalam aneka ragam bentuknya oleh para pedagang. Kue-kue ini diletakkan secara teratur dan serasi didepan toko mereka untuk menarik para pembeli. Ada juga yang merayakan dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuaan yang dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kebanyakan para qari membacakan ayat-ayat yang sesuai dengan sifat peringatan maulid tersebut. Setelah itu dibacakan kisah maulid Nabi saw. dengan mengetengahkan sifat-sifat dan akhlak beliau saw., juga kisah lainnya yang menerangkan keadaan masyarakat pada masa kelahiran beliau saw.. Pada zaman pertama generasi-generasi berikutnya, orang mulai menulis buku dan menghimpun ucapan orang-orang yang menyampaikan berita-berita riwayat dan hadits-hadits. Kemudian buku ini disebar luaskan kepada kaum muslimin untuk mengingatkan mereka tentang kebesaran Nabi Muhammad saw. dan perangai mulia yang telah menjadi fitrah beliau, yang telah dikenal baik oleh keluarga, sanak kerabat dan kaumnya (yakni orang Quraish–pen). Antara lain diriwayatkan berita dalam buku-buku tersebut:
‘Ketika beliau masih sebagai anak penggembala kambing, ketika beliau masih remaja muda turut bersama pamannya beliau dalam perang Fijjar (peperangan yang terjadi setelah tahun Gajah antara orang-orang Quraish dan sekutunya orang-orang Kinanah disatu pihak, melawan orang orang dari Bani Hawazin. Konon waktu itu Rasulallah saw. umur 14 th. ada riwayat mengatakan umur beliau waktu itu 20 th.—red.) dan persekutuan Fudhul. Juga dibuku tersebut meriwayatkan ketika beliau saw. telah mencapai kematangan fitrah dalam hubungan dengan Allah dan masih banyak lagi keterangan-keterangan riwayat beliau saw. yang tercantum dalam buku-buku tersebut. Demikian itulah peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang lazim dilakukan oleh kaum muslimin sebagai sunnah setelah abad-abad pertama Hijriyah’ ”!
 Imam Abu Syamah gurunya Imam Nawawi ketika mengomentari peringatan maulid Nabi saw. berkata sebagai berikut: “Diantara kegiatan terbaik yang diada-adakan pada masa kita sekarang ini adalah kegiatan yang dilakukan setiap tahun bertepatan dengan kelahiran Nabi kita Muhammad saw. yakni memperbanyak sedekah, mengerjakan hal-hal yang baik serta menampakkan keriangan dan kegembiraan. Karena demikian itu selain didalamnya terkandung perbuatan yang baik terhadap fakir miskin juga mengesankan suatu kecintaan dan pengagungan kepada Nabi saw. serta juga rasa syukur kepada Allah swt.atas karunia-Nya yang telah menciptakan beliau saw. dan mengutusnya sebagai rahmat bagi sekalian alam”.
 As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani rohimahullah, beliau adalah seorang ulama dan anak seorang ulama besar Al-Allamah Ustadz Alawy, dikerajaan Arab Saudi yang berkedudukan sebagai Mufti Makkah. Sekali pun secara format kerajaan Arab Saudi madzhab Wahabi/ Salafi tapi beliau tetap sebagai ulama yang bermadzhab Maliki. (Akhir-akhir ini ada golongan Salafi/Wahabi sebagaimana kebiasaannya berani meng- kafirkan seorang ulama yang bertauhid ini yakni Ustadz Muhammad al-Maliki ini karena tidak sepaham dengan mereka! Ya Allah janganlah kami di masukkan kegolongan yang mudah mengkafirkan sesama muslimin yang meng-Esakan Engkau dan beriman kepada Malaikat-Malaikat-Mu, Rasul-Rasul-Mu serta mempunyai kiblat yang sama dengan kaum muslimin lainnya. Amin–pen.).
Maulid Nabi saw. yang tertulis dalam, makalahnya Haulal–Ihtifal Bil-Maulidin Nabawiyyisy-Syarif (Sekitar Peringatan Maulid Nabi yang Mulia) tersebut merupakan salah satu karya tulis dari beberapa orang ulama dan penya’ir Islam kenamaan, yang dimuat dalam buku koleksi pilihan tulisan para ulama dan para penya’ir Islam berjudul Baaqah Ithrah, cetakan pertama tahun 1983, yang terbit di Makkah.
Pendapatnya mengenai peringatan maulid Nabi saw. dalam makalahnya itu antara lain: Sebenarnya sudah terlalu banyak orang berbicara tentang perayaan atau peringatan Maulid Nabi saw. Sesungguhnya masih banyak soal lain yang lebih memerlukan pemikiran kita. Pembicaraan masalah ini seolah-olah menjadi permasalahan rutin setiap tahun, sehingga orang merasa jemu. Selama masih banyaknya pikiran yang secara diam-diam menyalahkan –bahkan mengharamkan– perayaan atau peringatan maulid Nabi saw., maka tidak ada jeleknya jika saya berusaha memenuhi harapan kaum muslimin awam, yang masih merasa butuh kepada penjelasan mengenai jaiz atau bolehnya penyelenggaraannya.
Lebih baik saya tekankan lebih dahulu bahwa bentuk peringatan Maulid Nabi saw. seperti berkumpul untuk mendengarkan riwayat hidup beliau, menyata- kan pujian-pujian dan sholawat yang memang sudah menjadi hak beliau saw., kemudian dilanjutkan dengan suguhan-suguhan makanan dan lain sebagainya guna menyemarakkan/menggembirakan kaum muslimin, semua- nya itu boleh/jaiz, tidak dilarang oleh syara’. Perayaan atau peringatan maulid ini dapat dan boleh diselenggarakan kapan saja. Memang benar peringatan ini diadakan pada bulan kelahiran beliau saw. adalah lebih baik, karena lebih menggugah ingatan orang kepada peristiwa besar yang terjadi dalam bulan itu dimasa silam. Dengan demikian orang lebih mudah mengkaitkan masa kini dengan masa lampau.
Tidak dapat disangkal bahwa mengumpulkan orang banyak untuk mem- peringati Maulid ini merupakan salah satu cara terpenting untuk menda’wah- kan kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Dalam kesempatan itupun para ulama dapat meng- ingatkan umat kepada junjungan kita Rasulallah saw. Bagaimana sesungguh nya beliau itu, bagaimana keagungan dan keluhuran budi pekerti serta akhlaknya, bagaimana kehidupan beliau saw. sehari-hari, bergaul dengan para sahabat- nya, bagaimana beliau menunaikan ibadah kepada Allah dan sebagainya. Jadi kegiatan perayaan maulid ini adalah kegiatan yang sangat baik dan bermanfaat.
Dalil-dalil jaiz/bolehnya perayaan dan peringatan maulid, sebagai berikut :
Peringatan maulid Nabi saw. tidak lain memantulkan kegembiraan kaum muslimin menyambut junjungan mereka Rasulallah saw. Bahkan orang kafir pun beroleh manfaat dari sikapnya yang menyambut gembira kelahiran beliau, seperti Abu Lahab, misalnya. Sebuah hadits dalam Shahih Bukhori menerangkan bahwa tiap hari Senin Abu Lahab diringankan siksanya, karena ia memerdekakan budak perempuannya, Tsuwaibah, sebagai tanda kegembiraannya menyambut kelahiran putera saudaranya Abdullah bin Abdul Mutthalib, yaitu Muhammad saw.. Jadi, jika orang kafir saja beroleh manfaat dari kegembiraannya menyambut kelahiran Rasulallah saw., apalagi orang yang beriman!
(Begitu juga Al-Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin al-Dimasyqi berkata: “Jika orang kafir yang nyata-nyata telah dicela oleh Allah melalui firman-Nya ‘Celakalah dua tangan Abu Lahab’ serta dia kekal dalam neraka justru ada keterangan bahwa selamanya disetiap hari Senin dia memperoleh keringanan siksa lantaran kegembiraannya dengan kelahiran Nabi Muhamad Lalu bagaimanakah dengan orang yang sepanjang hidupnya bergembira dengan kelahiran beliau dan diapun mati dalam keadaan bertauhid?–pen.)”.
Selanjutnya Ustadz Muhammad Al-Maliki berkata: Rasulallah saw. sendiri menghormati hari kelahiran beliau, dan bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat-Nya yang besar itu. Beliau dilahirkan dialam wujud sebagai hamba Allah yang paling mulia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Cara beliau menghormati hari kelahirannya dengan berpuasa. Hadits dari Abu Qatadah yang mengatakan, bahwa ketika Rasulallah saw. ditanya oleh beberapa orang sahabat mengenai puasa beliau tiap hari Senin, beliau menjawab:
ذَالِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ اَوْ اُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ
‘Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga Allah swt. menurunkan wahyu kepadaku”. (HR Muslim dalam shahihnya).
Puasa yang beliau lakukan itu merupakan cara beliau memperingati hari maulidnya sendiri. Memang tidak berupa perayaan, tetapi makna dan tujuan- nya adalah sama, yaitu peringatan. Jadi peringatan dapat dilakukan dengan cara berpuasa, dengan memberi makan kepada pihak yang membutuhkan, dengan berkumpul untuk berdzikir dan bershalawat atau dengan menguraikan keagungan perilaku beliau sebagai manusia termulia dan sebagainya.
Pernyataan senang dan gembira menyambut kelahiran Nabi saw. merupa- kan tuntunan Al-Qur’an. Allah berfirman:
قُلِ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْـيَفْرَحُوا
“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah (dengan itu) mereka bergembira’ “. (S.Yunus: 58)
Allah swt. memerintahkan kita bergembira atas rahmat-Nya dan Nabi Muhammad saw. jelas merupakan rahmat Allah terbesar bagi kita dan semesta alam.
Dan firman-Nya :
وَمَا أرْسَلـْنَاكَ إلاَ رَحْمَةً لِلعَالَمِـيْنَ
“Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. (Al-Anbiya:107)
Rasulallah saw. memperhatikan kaitan antara suatu masa dan peristiwa-peristiwa besar keagamaan yang pernah terjadi dimasa silam (sebelum beliau). Manakala masa terjadinya peristiwa itu berulang, itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengingatnya, menghormati hari terjadinya dan suasana yang meliputinya. Mengenai itu beliau telah menetapkan sendiri kaidahnya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, setiba Rasul-Alah di Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram). Ketika beliau saw. menanyakan hal itu, dijawab: ‘Mereka (orang Yahudi) berpuasa karena Allah telah menyelamatkan Nabi mereka (Musa as) dan menenggelamkan musuh mereka’. Mendengar itu Nabi saw. menjawab:
نَحْنُ أوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
‘Kami lebih berhak memperingati Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)’. Beliau kemudian berpuasa pada hari itu dan menyuruh para sahabat berpuasa juga.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa hidup nya Nabi saw. Itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah (secara massal), bukan terletak pada per- orangan (individu) yang memperingati maulid Nabi. Sebab masa hidup beliau, dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim melakukannya, meski pun tidak disebut ‘perayaan atau peringatan’.
Tidak semua yang tidak pernah dilakukan oleh kaum Salaf ( terdahulu) dan yang belum pernah terjadi pada masa pertumbuhan Islam adalah bid’ah dholalah (sesat) dan harus ditolak. Masalah demikian itu harus dihadapkan pada dalil-dalil syara’. Yang mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin adalah wajib, yang membahayakan kehidupan Islam dan kaum muslimin adalah haram. Adapun soal cara hukumnya tergantung pada maksud dan tujuannya (niatnya).
Dalam peringatan maulid ini pasti dikumandangkan ucapan-ucapan shalawat dan salam bagi junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Shalawat dan salam, keduanya ini dikehendaki oleh Allah swt. Dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat (melimpahkan rahmat dan ampunan) kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, hendak lah kalian bershalawat (mendo’akan rahmat) baginya dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (Al-Ahzab : 56)
Betapa banyak pahala kebaikan yang didapat oleh orang yang banyak mengucapkan shalawat Nabi, sehingga Rasulallah saw. sendiri menjanjikan sepuluh kali lipat balasan do’a beliau bagi orang dari umatnya yang ber- shalawat kepada beliau. Dalam peringatan Nabi itu pasti mencakup uraian mengenai riwayat-riwayat beliau, mu’jizat-mu’jizat beliau, sejarah kehidupan beliau dan pengenalan beliau akan berbagai segi kemuliaan beliau. Bukan- kah kita diharuskan mengenal beliau dan dituntut supaya berteladan kepada beliau serta mengimani Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang besar dan mem- benarkannya? Dikitab-kitab maulid banyak memaparkan semuanya itu.
Dengan selalu mengenal/mengingat keagungan perangai beliau serta mu’jizat-mu’jizat dan pembinaan serta tuntunan beliau pasti akan lebih menyempurnakan keimanan kita kepada beliau saw.. Mengenal keadaan beliau dan menyakini tiada sesuatu (makhluk) yang lebih indah, lebih sempurna dan lebih utama daripada semua sifat yang ada pada beliau saw., pasti semuanya ini akan menambah kecintaan kita dan lebih menyempurna- kan keimanan kita pada beliau sebagai Nabi dan Rasul. Kedua-duanya itu merupakan tuntunan syara’ dan upaya/jalan untuk bisa mencapai dua hal itu wajib kita lakukan. Allah swt berfirman: “Dan semua kisah dari para Rasul, Kami ceriterakan kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu”. (QS Hud : 120)
Dari firman tersebut tampak jelas banyak hikmah yang terkandung dalam kisah para Nabi dan Rasul, dan menambah keteguhan hati Nabi Muhammad saw. Sudah pasti, umat Islam terutama saat ini sangat memerlukan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai godaan dan cobaan hidup. Untuk itulah kita sangat membutuhkan kisah kehidupan junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw.. Pada umumnya semua ulama dan kaum muslimin ber- pendapat tidak ada cara tertentu atau cara khusus bagi peringatan maulid Nabi saw. yakni tidak ada cara tertentu yang harus dilakukan orang. Sebab, tujuan pokok peringatan ini mengajak orang kepada kebaikan yang ber- manfaat bagi mereka didunia dan diakhirat. Seumpama kita hanya menyata- kan pujian-pujian dengan menyebut-nyebut junjungan kita Nabi Muhammad saw., baik mengenai keutamaanya, perjuangannya dan lain-ain sebagainya, itu sudah berarti terlaksanalah sudah peringatan maulid Nabi saw. Menurut hemat kami pengertian demikian itu tidak akan dipertengkarkan orang dan tidak pula menimbulkan pertikaian.
Masalah Berdiri waktu Pembacaan Maulid.
Mengenai soal berdiri dalam peringatan maulid, yaitu pada saat disebut detik-detik kelahiran Nabi saw. dialam wujud ini, dikalangan sementara orang memang terdapat dugaan-dugaan yang tidak benar dan tidak berdasar. Sepanjang pengetahuan kami sangkaan yang salah itu tidak terdapat di kalangan para ahli ilmu (ulama). Bahkan dikalangan yang hadir dan turut berdiri didalam peringatan maulid itu sendiripun tidak ada sangkaan batil itu.
Sangkaan batil itu adalah pada waktu berdiri itu percaya bahwa Nabi saw. keluar dari kuburnya dengan jasad beliau hadir ditengah jama’ah yang sedang asyik mendengarkan kisah kelahiran beliau. Sangkaan yang lebih buruk lagi bahwa mereka beranggapan kemenyan, ukup atau wewangian lainnya, dan air dingin yang terletak ditengah jama’ah merupakan air minum yang disediakan khusus untuk beliau saw. Semua sangkaan dan dugaan-dugaan demikian itu sama sekali tidak pernah terbayang dalam pikiran kaum muslimin, dan kita berlindung kepada Allah swt. jangan sampai berpikir seperti itu. Sebab hal-hal semacam ini termasuk ‘kekurang- ajaran’ terhadap kedudukan Rasulallah saw.
Tidak ada orang yang berani memastikan kehadiran Rasulallah saw. dengan jasadnya kecuali orang mulhid (atheis, kafir) dan pendusta besar. Anggapan seperti itu adalah suatu kebohongan yang sengaja diada-adakan, suatu kekurang-ajaran dan kejahatan yang tidak mungkin ada kecuali pada orang yang benci, dungu dan menentang beliau saw.. Kita yakin bahwasanya Nabi saw. hidup dialam barzakh yang sempurna dan sesuai dengan kedudukan beliau. Ruh (bukan jasad) beliau berkeliling dialam malakut Allah swt., dapat pula menghadiri tempat-tempat kebaikan dan tempat-tempat lain yang memancarkan cahaya ilmu dan pengetahuan. Demikian juga ruh-ruh para pengikut beliau saw., orang-orang beriman yang setia kepada beliau saw..
Imam Malik ra mengatakan: “Saya mendengar hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa ’ruh’ adalah lepas bebas dapat bepergian kemana saja menurut kehendaknya”. Salman Al-Farisy (sahabat Nabi saw) berkata: Bahwa ia mendengar dari Rasulallah saw; “bahwa arwah (ruh-ruh) kaum mu’minin berada di alam barzakh (tidak jauh) dari bumi, dan dapat bepergian menurut keinginannya”. Demikian itulah menurut kitab ‘Mengenai Soal Ruh’ yang ditulis oleh Ibnul Qayyim, halaman 144.
( Lihat dua hadits terakhir diatas ini kalau ruh seorang mu’min biasa saja bisa bepergian kemana saja menurut keinginannya, apalagi ruh suci junjungan kita Muhamad saw. itu semua tidak lain kenikmatan dan rahmat yang di berikan Allah swt. terhadap hamba-Nya yang mu’min. Memang soal alam ruh itu repot dijangkau oleh akal manusia yang terbatas ini sebagaimana yang Allah swt firmankan berikut ini: “Mereka bertanya kepadamu (hai Muhamad) tentang ruh, jawablah: ‘Itu termasuk urusan Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit “.(Al-Isra : 85)..pen–.)
Karenanya soal berdiri dalam peringatan maulid Nabi bukan soal wajib dan bukan soal sunnah. Mempercayainya sebagai soal wajib atau sunnah sama sekali tidak dapat dibenarkan. Itu bukan lain hanya suatu harakah (gerak) yang mencerminkan keriangan dan kegembiraan para hadirin dalam peringatan maulid. Pada saat mereka mendengar kisah kelahiran Nabi saw. disebut, tiap pendengarnya ( yang memahami maknanya) membayangkan seolah-olah pada detik-detik itu seluruh alam wujud gembira menyambut ni’mat besar yang dikaruniakan Allah swt. Soal kegembiraan adalah soal biasa, bukan soal keagamaan, bukan soal ibadah, bukan syari’at dan bukan sunnah. Itu hanya merupakan kebiasaan yang lazim dilakukan orang, dan pernyataan sukaria demikian itu dipandang baik oleh para ulama pakar dan dilakukan oleh kaum muslimin diberbagai negeri , kawasan dan daerah. Para ulama di Timur mau pun di Barat juga memandangnya sebagai kebiasaan yang baik.
Hal itu dikatakan sendiri oleh pengarang kitab maulid terkenal yaitu Syeikh Al-Barzanjiy. Beliau mengatakan: “Para Imam ahli riwayat dan ahli rawiyyah (ahli pikir) memandang baik orang berdiri pada saat kisah kelahiran Nabi saw. disebut. Bahagialah orang yang memuliakan beliau saw. dengan segenap pikiran dan perasaannya”.
Dalam sebuah pantunnya/syairnya beliau juga menyatakan: ‘Para ahli ilmu, ahlul-fadhl (orang-orang utama) dan ahli takwa mensunnahkan berdiri diatas kaki sambil berenung sebaik-baiknya. Membayangkan pribadi Al-Mushthofa (Rasulallah saw.) karena beliau senantiasa Hadir di tempat mana pun beliau d sebut, bahkan beliau mendekatinya’.
Jelaslah sudah bagi kita, bahwa Syeikh Al-Barzanjiy tidak mengatakan ‘Nabi saw. yang mensunnahkan, dan tidak mengatakan para Khalifah Rosyidun yang mensunnahkan. Beliau juga tidak mengatakan pensunnahan mereka itu mutlak, beliau hanya mengatakan bahwa para ahli ilmulah yang men- sunnahkan berdiri.
Syeikh Al-Barzanjiy berkata: ‘Soal berdiri itu hanya untuk membayangkan pribadi Al-Mushthafa (Rasulallah saw.) didalam imajinasi (dzihn). Mem- bayangkan pribadi beliau saw. adalah suatu yang terpuji, diminta dari setiap muslim, bahkan perlu sering dilakukan oleh setiap muslim yang mukhlish. Sering membayangkan pribadi beliau akan menambah kepatuhan dan kecintaan kepada beliau saw. yang pada akhirnya gemar sekali mengikuti ajaran dan teladan yang beliau saw. berikan kepada ummatnya. Berdiri ini hanya soal kebiasaan, maka orang yang tidak berdiri pun tidak apa-apa, ia tidak berdosa dan tidak melanggar ketentuan syari’at ‘.
Memang benar, sikap tidak mau berdiri itu dapat menimbulkan penafsiran atau kesan pada orang yang melihatnya (para hadirin), bahwa sikap seperti itu dianggapnya tidak sopan, tidak berperasaan. Jadi, persoalannya sama dengan orang yang meninggalkan adat-istiadat yang sudah menjadi tradisi masyarakat.
Berdiri menghormati ahlul-Fadhl (manusia utama) adalah disyari’atkan oleh agama. Dalil-dalil yang menetapkan hal itu banyak terdapat didalam Sunnah. Mengenai masalah itu Imam Nawawi menulis bab khusus, diperkuat oleh Ibnu Hajar. Ia menjawab sanggahan ‘Ali Ibnul-Haj yang secara khusus menolak pendapat Imam Nawawi dengan menulis bab tersendiri yang berjudul Raf’ul-Mulam ‘Anil-Qail bin Istihsanil-Qiyam Min Ahlil-Fadhl.
Sebuah hadits Muttafaq ‘alaih meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. dalam salah satu khutbahnya dihadapan kaum Anshor berseru: ‘Hendaklah kalian berdiri untuk menghormat pemimpin kalian’. Yang dimaksud pemimpin kalian ialah Sa’ad ra.. Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka di suruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari kendaraannya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Ada sementara golongan yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut diatas terjadi semasa beliau masih hidup, dan beliau sendiri berada ditengah kaum Anshor, sedangkan dalam peringatan maulid, beliau saw. tidak berada di tengah para hadirin. Sebagai jawaban mengenai ini ialah: Sebagaimana yang telah saya kutip sebelumnya bahwa orang yang membaca kisah maulid Nabi saw. membayangkan kehadiran beliau saw. dalam imajinasinya. Meng-imajinasikan kehadiran beliau jelas akan menambah peng- hormatan dan pemuliaan orang kepada beliau saw. Beliau datang ditengah alam jasmani dari alam nurani jauh sebelum waktu kelahirannya. Meng-imajinasikan kehadiran beliau berupa kehadiran nurani (ruhani) beralasan kuat, karena beliau saw. seorang Nabi dan Rasul yang menghayati sepenuhnya akhlak Robbani. Dalam hadits Qudsi beliau saw. mengatakan:
Dalam hadits Qudsi beliau saw. mengatakan : اَنَا جَلِيْسُ مَنْ ذَكَرَنِي
“Aku duduk menyertai orang yang menyebutku”.
Menurut sumber riwayat lain :
اَنَا مَعَ مَنْ ذَكَرَنِي
“ Aku bersama orang yang menyebutku”.
Mengingat kepatuhan dan kecintaan beliau saw. kepada Allah swt. dan kecintaan Allah swt pada Rasulallah saw. serta mengingat pula akhlak Rabbani yang beliau hayati sepenuhnya, maka dengan ruh beliau yang mulia dan agung itu beliau saw. bisa selalu menghadiri ditempat mana saja beliau disebut.
Baik dalam ayat Al-Qur’an mau pun hadits banyak meriwayatkan bahwa manusia yang telah wafat itu ruh-ruh mereka masih hidup, bisa bergembira, sedih serta mendengar ucapan-ucapan kita yang masih hidup, terbang kemana-mana menurut kehendaknya. Ruh-ruh orang mu’min biasa bisa terbang kemana-mana yang dikehendaki, apalagi Ruh junjungan kita Muhammad saw. dan pengikutnya yang setia.
Begitu pula hadits mengenai bacaan salam kepada Rasulallah saw. dari Abu Hurairah ra yang berkata bahwa Rasulallah saw. bersabda:
مَا مِنْ أحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
“Tiada seorang yang mengucapkan salam kepadaku melainkan Allah mengembalikan ruhku hingga dapat menjawab salam “. (Abu dawud)
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Jangan kamu jadikan kubur (makam) saya sebagai tempat perayaan, dan bacakan selawat untukku, maka bacaan selawatmu itu akan sampai kepadaku dimana saja kamu berada”.
Dengan adanya dalil-dalil diatas tersebut maka para ulama untuk mem- biasakan berdiri dalam peringatan maulid pada detik-detik membaca kisah kelahiran Rasulallah saw. dan memberi salam kepada beliau saw. Hal yang sama ini banyak dilakukan oleh kaum muslimin baik dari golongan awam atau ulamanya dalam berbagai madzhab di berbagai negeri, kawasan dan daerah.
Ada orang yang menafsirkan hadits riwayat Abu Daud terakhir diatas ini secara keliru yang mana mereka berkata bahwa kita tidak boleh (bid’ah) ziarah pada Rasulallah saw. cukup dengan membaca selawat dan salam untuk beliau dimana saja akan sampai. Sebenarnya yang dimaksud sabda Nabi tersebut adalah “janganlah kita bersusah payah harus menempuh perjalanan jauh (ke Madinah) semata-mata hanya untuk mengucapkan selawat dan salam dimuka makam Rasulallah saw., karena membaca selawat dan salam akan sampai pada beliau saw. dimana kita berada, jadi tidak harus menunggu berada dimuka makam Rasulallah saw.”. Juga kalimat hadits diatas ‘sebagai tempat perayaan’ artinya ialah agar kita tidak bicara keras, ramai-ramai seperti halnya orang yang pergi berpesta, tapi kita harus dengan tenang memberi salam dan selawat dimuka kuburan beliau saw. dan berdo’a pada Allah swt. Karena ini termasuk anjuran Allah swt yang mendidik tatakrama kepada ummat Islam terhadap Nabi saw..
Sebagaimana firman-Nya pada surat Al-Hujurat: 2/3/4 (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi …sampai akhir ayat). Menurut pandangan ulama firman Ilahi ini juga berlaku baik dikala beliau saw. masih hidup maupun beliau setelah wafat. Begitu juga bila kita ziarah kepada kuburan Rasulallah saw. di Madinah, di masjid ini ada tertulis ayat Al-hujurat tersebut, dengan demikian orang-orang yang membaca dan mengerti artinya akan tidak berisik dimuka makam Nabi saw.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa kebiasaan waktu berdiri di majlis peringatan maulid tidak wajib maupun sunnah dan juga pula dimakruh- kan atau diharamkan, tidak lain semuanya itu perbuatan mubah dan ter- masuk juga sebagai ta’dzim (penghormatan) pada Rasulallah saw. karena waktu (berdiri) itu kita memberi salam pada pihak yang diperingati yaitu Rasulallah saw..
Para hadirin pada umumnya tidak memahami makna kitab maulid Barzanjiy yang dibaca dalam bahasa Arab. Mereka hanya menikmati irama, lagu dan kemerduan suara. Itu memang merupakan kekurangan yang harus menjadi perhatian kita. Tetapi walau pun adanya kekurangan tersebut, tidak mengurangi kekhusyu’an jalannya peringatan maulid, mereka mengharapkan berkah dan pahala karena ikut hadir dalam mengagungkan kebesaran Allah dan mencintai Rasul-Nya. Kegembiraan mereka menyambut peringatan kelahiran Nabi besar Muhammad saw. adalah kebajikan, lebih-lebih lagi jika kegembiraan itu disertai dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat ma’ruf dan ihsan, seperti menyediakan makanan dan minuman bagi kaum fakir miskin, walimah-walimah, dan memanjatkan do’a kepada Allah swt. mohon diberi kemantepan iman, mohon keselamatan bagi semua kaum muslimin dan lain sebagainya.
Semuanya ini merupakan kegiatan yang patut dipuji, karena dalam jama’ah/ kumpulan tersebut terdapat barokah (baca bab Tawassul/Tabarruk dibuku ini). Sebab dalam hadits yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra. mengatakan: bahwasanya Rasulallah saw. pernah menyatakan: ‘Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin baik dalam pandangan Allah swt. dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin buruk dalam pandangan Allah’. Hadits ini memperkuat fatwa jumhurul ulama (pada umumnya ulama) yang menganjurkan kaum muslimin supaya melaksanakan peringatan-peringatan maulid Nabi saw. dengan acara-acara yang sudah lazim berlaku. Yaitu; membaca uraian riwayat ke- hidupan Nabi Muhammad saw., ucapan-ucapan sholawat, berdzikir, tilawatul Qur’an, ceramah-ceramah agama dan lain sebagainya yang semuanya ini di sunnahkan oleh syari’at, mathlub syar’iy (tuntutan syari’at). Demikianlah sebagian uraian para ulama-ulama pakar Islam mengenai peringatan maulid Nabi saw. Semua itu adalah perbuatan kebajikan bukan perbuatan pokok agama sebagaiman yang telah dijelaskan tadi.
Semua perbuatan nafilah (sunnah) atau mubah yang bersifat kebaikan, selama tidak bertentangan dengan agama, itu mustahab/dapat diterima. Hanya orang-orang yang egois, fanatik sajalah yang melarang hal-hal ter- sebut sampai berani mensesatkan, membid’ahkan munkar dan lain sebagai- nya dengan memasukkan dalil-dalil yang semuanya itu tidak ada kaitannya dengan hal/masalah tersebut.
Insya Allah dengan adanya beberapa dalil dan pendapat para ulama pakar yang berkaitan dengan peringatan keagamaan itu, cukup jelas bagi kita untuk menilai kebaikan dan manfaatnya. Ingatlah sekali lagi walau pun pada zaman Nabi saw. atau para sahabat tidak menjalankan hal tersebut bukan berarti tidak boleh dijalankan atau dilarang/haram oleh agama. Semua yang dilarang oleh agama itu harus mempunyai nash/dalil yang jelas dan tegas masalah tersebut.
Begitu juga semua yang telah tercantum dibuku ini mengenai keabsahan peringatan maulid Nabi saw., semuanya itu hanya berlaku jika peringatan maulid yang diadakan itu sama sekali tidak bercampur-aduk dengan kemungkaran-kemungkaran tercela yang harus ditolak. Jika peringatan maulid mencakup hal-hal yang harus ditolak seperti bercampur baurnya lelaki dan wanita tanpa dipisah tempat duduknya serta diselingi dengan hal-ihwal yang diharamkan agama, pengeluaran biaya yang berlebih-lebihan sehingga banyak makanan yang terbuang, semuanya itu tidak disenangi Rasulallah saw. dan tentu saja penyelenggaraan peringatan maulid yang demikian tersebut harus dicegah. Dalam hal seperti ini yang dilarang bukan lah peringatan maulidnya, tetapi sisipan dan cara penyelenggaraannya yang salah itulah yang harus diperhatikan!!. Wallahu a’lam.
Sekelumit makalah
Pernah kami baca dari lembaran internet Salafy tanggal 25/01/2004 sebagai penulis Syekh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz salah seorang ulama madzhab Wahabi/Salafi yang mengatakan pada majlis peringatan maulid Nabi saw. tersebut berkumpulnya lelaki dan wanita-wanita yang bukan muhrim sehingga itu semua adalah munkar dan haram. Dan didalam majlis maulid Nabi saw. tersebut banyak hal-hal yang haram dijalankan oleh kaum muslimin tersebut diantaranya: minum khamar/alkohol, main judi, minum ganja dan sebagainya. Ini fitnahan yang membuat kaum muslimin pecah dan saling benci membenci.
Sayang sekali Syekh ini tidak menyebutkan pada majlis maulid apa dan di mana yang pernah dihadiri oleh beliau, sehingga adanya minuman alkohol, main judi dan sebagainya? Mungkin beliau ini hanya mendengar ceritera dongengan dari kawan-kawannya yang anti pada majlis maulid tersebut. Syekh ini mudah sekali menulis kata-kata bahwa majlis-majlis Maulid mungkar dan sebagainya dengan berdalil pada ayat Ilahi dan hadits-hadits Nabi saw. yang mana tidak ada kaitannya dengan majlis peringatan maulidin Nabi saw. Beliau dan kawan-kawannya ini mudah sekali mensesatkan, mengkafirkan amalan-amalan yang baru yang tidak sependapat dengan faham mereka, walaupun amalan itu sejalan dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Lebih mudahnya mari kita baca bukunya Ustadz Quraish Shihabseorang ulama cukup terkenal di Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah, disini menerangkan bahwa ajaran hukum Islam ada dua macam haram;
Pertama; haram karena zatnya, misalnya babi itu haram dimakan, karena zat daging babi itu sendiri najis dan haram. Demikian juga dengan berzina.
Kedua; haram karena dia dapat mengantarkan ke sesuatu yang haram karena zatnya, misalnya ; berkumpulnya dua orang berlainan jenis disuatu tempat yang terpisah dari khalayak ramai (berduaan saja) adalah haram, ini diharamkan karena dapat mengantarkan pada perzinaan.
Sedangkan berkumpulnya banyak orang pria dan wanita dalam satu majlis terbuka, umpama dalam majlis peringatan keagamaan atau lainnya, dimajlis terbuka ini tidak mungkin dapat mengantarkan perzinaan, apalagi bila tempat duduk mereka terpisah. Dengan demikian hal tersebut tidak dinilai sebagai sesuatu yang haram atau terlarang dalam agama. (Umpama dimajlis ter- sebut ada orang yang bermaksiat atau perbuatan munkar, maka orang itulah yang bertanggung jawab pada Allah swt., jadi bukan majlis dzikirnya yang harus dilarang atau diharamkan karena perbuatan maksiat pribadi tersebut–pen).
Pada masa Rasulallah saw., kaum wanita pernah ikut bahu membahu dan bekerja sama dengan kaum pria dalam berbagai aktivitas. Imam Bukhori dalam kitab haditsnya menjelaskan betapa kaum wanita terlibat dalam pengobatan para korban perang atau ikut dalam expedisi perang dilaut. Umar bin Khattab ra. mengangkat Al-Syifa’ seorang wanita yang pandai menulis untuk mengurus pasar di Madinah yang sudah tentu disana bercampur baur antara lelaki dan wanita! Juga dalam Shahih Bukhori dikemukakan banyak riwayat tentang dialog wanita dengan pria. Tentunya dalam dialog tersebut wanita berbicara dengan lelaki.
Agama Islam pada hakekatnya hanya melarang pergaulan bebas, bukan menganjurkan pergaulan yang terbatas (berlainan jenis hanya berduaan disatu ruang). Agama melarang segala sesuatu yang dapat mengantarkan keperzinaan atau kedurhakaan. Sedangkan berkumpulnya banyak wanita dan lelaki diruang terbuka, apalagi tempatnya terpisah, tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang terlarang. Demikianlah keterangan Sayyid Quraish Shihab.
Al-Hafidh Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita ketika baiat, hanya dengan ucapan mengatakan; dalam hadits ‘Aisyah ini ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan muhrim, dan suara mereka itu bukanlah aurat….. (Fathul-Bari, 16/330)
Kalau sekiranya pendapat Syekh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz ini benar yaitu haramnya berkumpul antara wanita dan lelaki yang bukan muhrimnya di majlis terbuka, mengapa para Muthawwi’ Saudi Arabia yang sepaham akidahnya dengan Syeikh ini membiarkan para wanita shalat berdampingan dengan kaum lelaki yang bukan muhrimnya di Masjidil Haram, Makkah pada musim haji, atau bulan-bulan Rajab, Sya’ban?, yang mana kami alami sendiri pada waktu musim haji dan bulan-bulan suci lainnya. Padahal ada riwayat hadits yang menganjurkan tempat wanita shalat bila berjama’ah adalah di belakang lelaki, juga letak seorang ibu dibelakang anak lelakinya. Dan hal ini di setujui oleh jumhur ulama ahli Fiqih. Dalam hal ini ibadah sholat seharusnya malah lebih diperhatikan daripada berkumpulnya lelaki dan wanita pada peringatan keagamaan itu yang duduk mereka sering berpisah.
Bila kejadian tersebut diatas mereka katakan darurat, tidaklah mungkin karena mereka bisa mengatur untuk memisahkannya. Sebagaimana mereka bisa mengatur dan memeriksa tas-tas ratusan ribu orang yang mau masuk ke Masjid Makkah ini dan memisahkan tempat duduk para wanita serta menghalangi ratusan ribu orang masuk ke masjid kalau didalam masjid sudah sangat penuh. Sedangkan di-masjidil Haram Madinah sholat wanita berdampingan dengan lelaki yang bukan muhrim ini tidak pernah kami alami, walau pun di Madinah waktu itu juga ribuan muslimin yang sholat disana.
Begitu juga Rasulallah saw. memerintahkan agar orang berthawaf di sekitar Baitullah (Ka’bah) yang mana dalam ibadah ini dilakukan bersama-sama antara lelaki dan wanita, baik thawaf sunnah atau thawaf wajib pada waktu haji atau lainnya. Pada waktu thawaf ini sering terjadi perbuatan dosa yaitu tangan-tangan jahil lelaki yang tidak bertujuan untuk ibadah waktu penuh sesak akan sengaja menyentuh aurat wanita atau merapatkan tubuhnya pada wanita didepannya, mencuri dan lain sebagainya. Syari’at Islam tidak melarang pelaksanaan thawaf bersama lelaki dan wanita dalam ruangan terbuka, tetapi yang dilarang oleh agama ialah perbuatan haram/dosa yang disengaja yaitu perbuatan orang-orang jahil yang telah kami kemukakan tadi. Sebenarnya hal inilah yang harus lebih diperhatikan oleh para ulama Saudi khususnya agar sebisa mungkin memisahkan atau membatasi tempat-tempat thawaf antara wanita dan lelaki, sehingga tidak mungkin akan terjadi pergesekan atau persentuhan tubuh antara lelaki dan wanita pada waktu-waktu penuh sesak!!.
Bila thawaf bersamaan antara lelaki dan wanita diruangan yang terbuka tersebut dilarang oleh agama, tidak mungkin Rasulallah saw. makhluk Ilahi yang paling taqwa memerintahkan thawaf baik kepada kaum lelaki mau pun kaum wanita baik diwaktu menjalani manasik Haji maupun thawaf sunnah lainnya. Begitu juga beliau saw. tidak memerintahkan agar wanita diberi waktu-waktu khusus untuk mereka! Tidak lain karena beliau saw. telah meneliti dan melihat pada tempat yang terbuka tersebut tidak mungkin akan terjadi perzinaan, sedangkan bila ada terjadi tangan-tangan jahil yang dilakukan perorangan yang tidak niat ibadah ditempat tersebut itu adalah dosa besar yang ditanggung oleh pribadi itu sendiri. Jadi ibadah/amalan thawaf tidak perlu dilarang atau dimungkarkan karena perbuatan perorangan tersebut, sebagaimana pendapat syekh Bin Baz yang memungkarkan peringa an maulud karena disana terjadi bercampurnya lelaki dan wanita diruangan terbuka yang bukan muhrim.
Jadi sekali lagi bahwa agama Islam pada hakekatnya hanya melarang per- gaulan bebas, melarang segala sesuatu yang dapat mengantarkan ke perzinaan atau kedurhakaan. Sedangkan berkumpulnya banyak wanita dan lelaki diruang terbuka (di majlis-majlis dzikir, maulid, pengajian dan sebagainya), apalagi tempat mereka terpisah, ini tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang terlarang/ haram. Baik wanita maupun lelaki selalu dianjurkan oleh syariat agama agar menutup auratnya seperti yang dianjurkan syari’at Islam. Begitu juga dianjurkan kepada para pengurus/organisator majlis-majslis dzikir agar mengatur sebaik mungkin tempat-tempat kaum lelaki dan kaum wanita yang sejalan dengan syari’at atau yang tidak mungkin akan terjadinya maksiat didalam majlis-majlis itu. Bila masih ada orang yang melanggar syari’at baik ditempat majlis dzikir atau lainnya, itu adalah berdosa dan tanggung jawab pribadi orang itu terhadap Allah swt., jadi bukan majlisnya yang harus ditutup atau diharamkan. Wallahu A’lam.
Semoga dengan adanya kesimpulan dalil secara singkat ini kita semua diberi hidayah dan taufiq oleh Allah swt. dan tidak saling cela-mencela sesama saudara muslimnya dikarenakan amalan-amalan sunnah tersebut.
Sekelumit tentang peringatan Isra dan Mi’raj Rasulallah saw.
Isra dan Mi’raj termasuk hari-hari Allah yang harus diperingati karena berkaitan langsung dengan Nabi Besar Muhammad saw. ke alam jabarut atas kehendak dan kekuasaan Allah swt.
Kejadian Isra dan Mi’raj Rasulallah saw. ini telah disebutkan dalam firman Allah swt. (QS.Al-Isra), sedangkan riwayat perjalanan Isra dan Mi’raj Rasulallah saw. ini diriwayatkan dalam berbagai hadits diantaranya oleh Imam Bukhori, Imam Muslim dan lainnya.
Peristiwa Isra dan Mi’raj ternyata merupakan ujian tentang sejauh mana orang benar-benar mengimani kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Diantara sejumlah kaum muslimin yang masih sedikit pada masa itu, sebagian goyah dan goncang keimanannya. Bagi mereka yang tidak beroleh hidayat dari Allah swt. bahkan keluar meninggalkan Islam, kembali ke kepercayaan semula.
Bagi mereka ini memang sulit sekali mempercayai sesuatu yang dirasa tidak masuk akal, bahkan mereka ketika mendengar berita tentang peristiwa itu mengolok-ngolok Rasulallah saw, bahkan menuduhnya ‘keranjingan setan’. Ada lagi yang menganggap peristiwa Isra dan Mi’raj itu perbuatan sihir. Memang demikianlah keadaan manusia yang hanya mengenal nikmat lahiriyah (fisik-material), tetapi terjauhkan dari nikmat bathiniah (mental-spritual), yaitu nikmat Iman dan Islam.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. merupakan sebagian dari nikmat dan kebesaran Allah swt. yang mengandung banyak hikmah dan pelajaran bagi ummat manusia, khususnya bagi kaum Muslimin. Peristiwa Isra yang mendahului Mi’raj dan terjadi pada malam yang sama, juga merupakan mu’jizat yang meyakinkan manusia akan kebenaran Risalah dan agama yang dibawakan oleh junjungan kita Nabi Muhammad saw., terutama mengenai pemberitaan bentuk bangunan Masjid Al-Aqsha di Yerussalem yang disampaikan oleh beliau saw. kepada para sahabat.
Riwayat singkatnya: Setelah beliau saw. sholat dua rakaat didalam masjid Al-Aqsha, dan beliau saw. mengimami sholat jama’ah para Nabi dan Rasul terdahulu di Masjidul-Aqsha ini, Jibril as. membawa beliau Mi’raj yakni naik kelangit pertama sampai ke langit ketujuh. Setiap langit yang beliau saw. hampiri, beliau saw. disambut oleh para Rasul yang terdahulu, misalnya Nabi Adam as berada dilangit yang pertama, Nabi Isa dan Yahya –‘alaihimas salaam- berada dilangit yang kedua, Nabi Yusuf as. dilangit yang ketiga, Nabi Idris as dilangit yang keempat, Nabi Harun as. dilangit yang kelima, Nabi Musa as. dilangit yang keenam dan Nabi Ibrahim as. berada dilangit yang ketujuh, sedang bersandar pada Al-Baitul-Makmur. Tiap hari tujuh puluh ribu malaikat masuk kedalamnya (Baitul Makmur) tanpa keluar lagi. Kemudian Rasulallah saw. naik ke Sidratul-Muntaha. Pada waktu peristiwa Mi’raj ini Allah swt. mewahyukan kepada beliau saw. tentang ketetapan lima waktu sholat wajib sehari semalam. Beliau saw. adalah manusia satu-satunya yang mengalami kejadian itu, Ini tidak lain menunjukkan betapa luhur dan agungnya kedudukan beliau saw..
Peristiwa ini bisa kita ambil pelajaran beberapa soal penting umpamanya, setiap beliau saw. sampai disatu lapis langit selalu disambut gembira oleh para Nabi dan Rasul terdahulu, dan semua mendo’akan kebajikan bagi beliau saw.. Dalam perjalanan Isra ke Palestina di Yerussalem beliau saw. mengimami sholat jama’ah para Nabi dan Rasul terdahulu di Masjidul-Aqsha. Tidak kurang pentingnya dari semuanya itu ialah do’a kebajikan yang dipanjatkan oleh para Nabi dan Rasul di alam baqa bagi junjungan Nabi kita Muhammad saw. Dengan demikian riwayat disini menunjukkan bahwa arwah orang yang telah wafat bisa berdo’a dan terbang kemana-mana menurut kehendaknya sebagaimana yang diriwayatkan oleh perawi hadits (lebih mendetail baca kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat pada bab Ziarah kubur dibuku ini)
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat atau memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari tertentu, begitu juga bentuk perayaan atau peringatan sebagaimana yang dituturkan dalam hadits-hadits ternyata bermacam-macam. Ada yang berupa ibadah puasa, ada yang dengan cara memotong kambing lalu dimakan bersama, ada yang merayakan dengan nyanyian, dan mendeklamasikan sya’ir-sya’ir sambil memukul rebana dan ada pula yang merayakan dengan bermain-main tombak serta perisai.
Begitu juga halnya dengan peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw., walaupun sementara orang berpendapat bahwa tidak ada nash yang jelas menyebut pada malam apa, tanggal berapa dan bulan apa Isra dan Mi’raj itu terjadi, itu sama sekali bukan halangan atau larangan untuk memperingati peristiwa penting dan besar dalam sejarah itu. Keabsahan peringatan Isra Mir’raj menurut syara’ sama dengan keabsahan peringatan maulid. Alasan-alasan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan untuk memperkokoh keabsaha an maulid, pada dasarnya memperkuat juga keabsahan peringatan Isra dan Mi’raj. (silahkan baca dalil-dalilnya yang telah kami kemukakan sebelumnya)
Peringatan Isra Mi’raj ini dapat diselenggarakan kapan saja, tetapi yang lebih tepat dan afdhal ialah pada waktu yang telah diisyaratkan dalam berita-berita riwayat (yaitu pada bulan Rajab). Tujuan utama memperingati ini tidak lain sama halnya dengan peringatan maulid Nabi saw. dan hari-hari Allah lainnya adalah mensyukuri nikmat Allah swt. yang tidak terhingga besarnya. Hari hijrah Rasulallah dari Makkah ke Madinah pun sangat banyak sekali hikmahnya. Banyak sekali pelajaran yang dapat ditarik oleh kaum muslimin dari peristiwa besar dalam sejarah Islam ini. Untuk mengetahui lebih mendetail mengenai perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi Besar Muhammad saw. silahkan membaca kitab Shohih Bukhori atau dalam shohih Muslim dan kitab lainnya. Demikianlah sekelumit tentang peringatan Isra dan Mi’raj Sayyidul Mursalin Rasulallah saw.
Mengagungkan Nabi Muhammad saw.
Sebenarnya kami tidak perlu mengutip atau mengumpulkan dalil-dalil lagi tentang kewajiban ummat muslimin untuk mengagungkan Nabi Muhammad saw. karena didalam keterangan-keterangan mengenai faham Wahabi/ Salafi, Bid’ah, tawassul/tabarruk dan Maulidin Nabi saw. dibuku ini saja sudah jelas bagi kita bahwa pengagungan pada Rasulallah saw. dan hamba-hamba yang sholeh itu termasuk anjuran agama dan bukan sebagai penyembahan atau perbuatan berlebihan. Tetapi selama masih ada kata-kata yang sering kita dengar dari saudara-saudara muslimin yang melarang untuk mengagungkan Nabi saw. sampai-sampai ada yang mensyirikkannya, dengan adanya pikiran-pikiran dangkal semacam itu maka tidak ada salah- nya kami mengutip dan mengumpulkan dalil-dalilnya serta pendapat ulama yang berkaitan dengan pengagungan/penghormatan terhadap beliau saw..
Pengagungan/penghormatan tinggi kita pada Rasulallah saw. oleh golongan pengingkar dianggap sebagai penyembahan pada beliau saw.. Mereka melarang ini berdalil pada sabda Nabi saw. sebagai berikut:
لاَ تُطْرُوْنِى كَمَا أطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ
“Janganlah kalian mengagung-agungkan diriku seperti kaum Nasrani mengagung-agungkan ‘Isa putra Maryam’ “.
Dengan beralasan hadits diatas ini mereka menganggap mengagungkan beliau saw. merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang dapat mem- bawa orang kepada perbuatan syirik. Juga mereka berpendapat bahwa menyanjung beliau saw. lebih tinggi dari manusia yang lain, dan memandang beliau saw. mempunyai kelebihan-kelebihan lebih dari manusia biasa itu ada lah bid’ah keagamaan dan perbuatan yang menyalahi sunnah beliau saw..
Pengertian serta pemikiran mereka seperti itu adalah sangat naif sekali. Kalau kita teliti hadits diatas tersebut yang dilarang oleh Rasulallah saw. yaitu orang yang mengagungkan beliau saw.seperti orang Nasrani yang mengagungkan nabi ‘Isa as. Pengagungan orang-orang Nasrani terhadap nabi ‘Isa as. adalah melampui batas yang mana mereka menganggap bahwa nabi ‘Isa itu anak Tuhan apalagi orang-orang Katolik disamping menganggap nabi ‘Isa anak Tuhan juga beliau sebagai Tuhan dibumi/didunia. Pengagung- an seperti inilah yang dilarang oleh agama agama Islam dan dianggap syirik karena menyekutukan Allah swt..
Sedangkan orang yang mengagungkan Rasulallah saw. dengan cara yang tidak melampaui batas kedudukan beliau sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya yang paling mulia dan taqwa serta tidak disertai kepercayaan seperti kaum Nasrani, maka cara itu tidak bertentangan dengan Tauhid, malah diperintahkan oleh Allah swt. untuk menghormat dan mengagungkan beliau saw.. Mari kita rujuk firman-firman Allah swt. untuk Rasulallah saw. berikut ini
 Mari kita rujuk firman-firman Allah swt. untuk Rasulallah saw. berikut ini :
َالَّذِيْنَ آمَنُوْا بِهِ وَ عَزَّرُوْهُ وَ نَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الذِّي اُنْزِلَ مَعَهُ أوْلاَئِكَ هُـمُ الْمُفـْلِحُوْنَ
Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad saw.) mengagungkannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya (yakni Al-Qur’an) mereka itulah orang-orang yang memperoleh keberuntungan”. (S.Al-A’raf : 157)
 Firman-Nya juga :
وَ قَالَ اللهُ اِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ اَقَمْتُمُ الصِّلاَةَ وَاَتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَاَمَنْتُمْ بِرُسُلِيْ وَعَزَّرْتُمُوْهُمْ وَاَقْرَضْتُمُ اللهَ
قَرْضًا حَسَنًا َلاُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وََلاُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا الاَنْهَارُ
“Sesungguhnya Aku bersama kamu, jikalau kamu benar-benar mendirikan sholat, menunaikan zakat, beriman terhadap para Rasul-Ku, mengagungkan mereka dan kamu memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Aku akan bebaskan daripadamu sebagian dosa-dosa ke- salahanmu dan Aku akan masukkan kamu kedalam surga yang dibawah- nya mengalir sungai-sungai’”.
.
Menurut tafsir Qurtubi jilid 6 halaman 151, arti daripada ‘azzartumuuhum’ adalah ‘memuliakan atau mengagungkan mereka’. Jadi memuliakan para Rasul termasuk salah satu amalan yang dapat mendatangkan maghfirah/ ampunan dan menurunkan rahmat. Terbukti dalam ayat diatas bahwa mereka yang mengagungkan dan memuliakan para Rasul akan diampunkan sebagian dosanya dan akan dimasukkan kedalam surga. Apalagi kalau yang kita agungkan dan muliakan itu adalah Asyroful Anbiya wal Mursalin (yang paling mulia antara para nabi dan Rasul) yakni junjungan kita Nabi besar Muhammad saw.
 Allah swt. berfirman :
ذَالِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَاللهِ فَإنَّهَا مِنْ تَقْوَى القُلًوْبِ
“Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang kebesaran) Allah, itu sesungguhnya (timbul) dari hati yang takwa” (S. Al-Hajj : 32)
Tidak diragukan lagi Rasulallah saw. dengan kenabian dan ke Rasulannya, dengan segala mu’jizat termasuk mu’jizat yang terbesar yaitu Al-Qur’an yang dikaruniakan Allah kepada beliau saw. adalah lambang kebenaran dan kebesaran (syi’ar) serta lambang kekuasaan Allah swt. Memuliakan syi’ar Allah ini adalah bukti dari hati yang bertakwa kepada Allah swt.
 Dalam firman Allah swt. :
ذَالِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِنْدَ رَبِّهِ
“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia disisi Allah, itulah yang terbaik baginya disisi Tuhannya”. ( Al-Haj : 30)
Rasulallah saw. adalah yang paling mulia dan taqwa dari semua makhluk Ilahi. Begitu juga para ahli taqwa termasuk juga makhluk yang mulia disisi Allah swt.
 Allah swt. berfirman :
إنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِي يَآاَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Shalawat Allah swt. pada ayat diatas menurut ahli tafsir berarti pujian Allah swt. terhadap Nabi saw., pernyataan kemuliaannya, serta maksud meninggikan dan mendekatkannya. Dan orang-orang beriman disuruh juga bershalawat (memuji/meninggikannya) dan bersalam pada beliau saw.
Firman Allah swt. agar manusia bersikap sopan dan hormat dalam bercakap-cakap dengan beliau saw. atau tidak memanggil beliau saw. sebagaimana memanggil sesama kita.
يَاأيَّهَالذِّيـنَ آمَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أصْوَاتَكُمْ فَوْقِ صَوْتِ النَّبِي
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah mengeraskan suara kalian lebih tinggi dari suara Nabi”. (Al-Hujurat : 2)
 Juga firman-Nya sebagai berikut :
لاَ تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضَا
“Janganlah kalian memanggil Rasul sebagaimana kalian memanggil satu sama lain diantara kalian”. (An-Nur : 63)
 Firman-Nya juga :
إنَّ الذِّيْنَ يُنَادُوْنَكَ مِنْ وَرَاءِ الحُجُرَاتِ اَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ
“Orang-orang yang memanggil-manggilmu (hai Muhammad) dari luar kamar mu, mereka itu kebanyakan tidak mengerti”. (Al-Hujurat : 4)
 Allah swt. memuji budi pekerti Nabi saw dan kita juga dianjurkan mengagungkan beliau saw. :
Lagod kaana lakum fii Rasuulillahi uswatun hasanatun liman kaana yarjuullaha wal yaumil aakhira wa dzakarallahu katsirann.
“Sesungguhnya pada diri Rasulallah itu menjadi contoh utama bagi orang-orang yang mengharapkan keridhaan Allah dan hari akhirat serta banyak mengingat Allah”. (Al-Ahzab : 21)
 Firman-Nya sebagai berikut :
وَإنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sungguhlah bahwa engkau (hai Muhammad) berbudipekerti luhur”. ( Al-Qalam : 4 )
 Firman-Nya lagi :
إنَّا أرْسَلْنَاكَ شَهِيْدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا لِتُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ
“Sungguhlah Kami telah mengutusmu (hai Muhammad )sebagai saksi, sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan, maka hendaklah kalian (manusia) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memperkuat (agama) dan mengagungkan nya”. (Al-Fath : 8-9)
 Firman-Nya :
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالمُؤْمِنِيْنَ رَؤُفٌ رَحِيْمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan (rouufun) lagi penyayang (rohimun) terhadap orang-orang mu’min”. (At-Taubah : 128)
Ayat-ayat diatas ini bisa kita tarik kesimpulan bahwa Allah swt. memuji budi pekerti Rasulallah saw. dan siapa yang selalu memuji dan mengagungkan beliau saw. berarti dia termasuk orang yang beriman yang cinta dan mengharapkan ridho Allah swt. dan Rasul-Nya serta termasuk orang ahli takwa.
Dengan adanya firman-firman Allah yang telah dikemukakan tadi, maka dengan jelas bahwa Allah swt. sendiri dan para malaikat memuji dan meng- agungkan beliau saw. dan orang yang beriman disuruh mengagungkan, memberi salam pada beliau saw.. Allah swt. melarang kita memperlakukan beliau saw. dengan perlakuan yang biasa kita berikan kepada sesama kita atau memanggil nama beliau dengan cara seperti memanggil teman kita sendiri. Dengan semuanya ini menunjukkan bahwa pribadi serta kedudukan Rasulallah saw. adalah sangat tinggi sekali yang pantas dipuji dan diagung-agungkan dan bukan termasuk sebagai perbuatan ghuluw ! Perintah sholawat pada ayat Allah ini dan firman-firmanNya yang lain menurut ulama tetap berlaku walau pun Rasulallah saw. sudah wafat.
Disamping itu banyak firman Allah swt. yang menyifatkan Rasul-Nya sebagai sifat-Nya (Haalim, Kariim, Roufur Rahiim dan sebagainya). Tapi sifat-Nya yang disifatkan kepada para Rasul-Nya ini mempunyai makna majazi/kiasan, sedangkan sifat yang ada pada Allah swt. adalah sifat yang hakiki/sebenar- nya. Jadi pada saat Allah swt. berfirman Dialah yang mempunyai sifat Rahiim, Haliim, Roufur Rahiim, Ghofuur, Qawi, Nashiir, Waliyyan dan sebagainya itu, maka Rasulallah saw. dan para Rasul lainnya atas izin-Nya termasuk didalamnya (baca keterangan dihalaman sebelum ini pada bab Apakah Al-Qur’an hanya bisa diartikan secara tekstual dan literal). Begitu juga dalam riwayat yang telah dimukakan bahwa para sahabat memohon hujan dengan tawassul kepada Abbas bin Abdul Muttalib. Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan mengatakan: ‘Selamat atasmu wahai Penurun hujan untuk Haramain’. Para sahabat mengerti dan mengetahui bahwa Penurun hujan sebenarnya adalah Allah swt. sedangkan Abbas ra. Penurun hujan secara kiasan. Dan tidak ada seorang pun dari para sahabat mengatakan bahwa itu ghuluw dan bisa menjerumuskan orang kepada kesyirikan!!
Jadi apa salahnya kalau kita memuji dan mengagungkan pribadi beliau saw. dengan menyebut beliau saw. sebagai penolong, pengampunkan dosa dan sebagainya yang mana Allah swt. sendiri telah memerintahkan para sahabat- nya untuk datang kepada beliau saw. agar Rasulallah saw. memohonkan ampun kepada Allah swt. untuk para sahabat ini (An-Nisaa:64)?. Hal tersebut masih dilakukan oleh sahabat beliau saw. setelah wafatnya. (baca bab tawassul/tabarruk). Sudah tentu semua orang tahu bahwa bukan Rasulallah saw. yang bisa mengampunkan dosa para sahabat, tetapi dengan perantaraan beliau saw. dosa para sahabat yang bersangkutan itu diampunkan oleh Allah swt. Dengan demikian Rasulallah saw. bisa dijuluki secara kiasan sebagai Pengampunkan dosa.
Itulah juga yang dimaksud oleh pengarang-pengarang kitab  Burdah, Barzanji, Dhiba’ dan lain-lain yang ditulis oleh penyair dan ulama terkenal ini yang sebagian besar isinya memuliakan, mengagungkan Allah swt. dan Rasulallah saw. serta mensifati beliau saw. secara kiasan sebagai Penolong, Pengampunkan dosa dan lain sebagainya? Sudah tentu para ulama itu sadar dan yakin serta mengetahui bahwa pemuliaan, pengagungan dan pensifatan terhadap Rasulallah saw. sebagai hamba Allah (Makhluk) tidak setaraf dengan pemuliaan, pengagungan dan pensifatan kita terhadap Allah swt. sebagai Pencipta (Al-Khalik). Bila ada pikiran yang memandang secara hakiki/sebenarnya makhluk setaraf dengan Sang Pencipta itulah baru dikatakan syirik ! Apakah mungkin para ulama dan penyair yang terkenal itu menulis kitab yang mengandung atau berbau kekufuran, kesyirikan ? Sudah tentu tidak mungkin! Apakah hanya ulama golongan pengingkar saja yang paling mengetahui, paling pandai dan paling hati-hati dalam syari’at Islam? Sudah tentu tidak!!
Yang lebih aneh, golongan pengingkar ini mempercayai riwayat-riwayat yang telah kami kemukakan yang berkaitan dengan Tajsim/penjasmanian dan Tasybih/penyerupaan Allah swt. kepada Makhluk-Nya, umpamanya Allah swt. mempunyai tangan, jari kelingking, kaki, nafas dan lain sebagainya secara hakiki/sebenarnya hanya kita dilarang membayangkan-Nya!. Mereka melarang orang menta’wil atau mengartikan maknanya yang sesuai dengan sifat ke Mahaagungan dan ke Mahasucian-Nya. Padahal riwayat-riwayat itu jelas berlawanan dengan ayat-ayat Ilahi yang artinya, ‘Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya’.( QS [42]):11 ) ; ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ . (QS [6] : 103) ; ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’ (QS [37] : 159 ) dan ayat-ayat lain yang serupa..(baca bab 2 paham golongan Wahabi/Salafi dibuku ini). Disatu sisi mereka melarang orang mengagung- kan Rasulallah saw. karena hal itu sebagai perbuatan berlebih-lebihan yang dilarang oleh agama walau pun jelas banyak ayat Ilahi yang memerintah- kannya tetapi disisi lain mereka sendiri mempercayai Tajsim dan Tasybih Allah swt. kepada makhluk-Nya secara hakiki, yang mana hal ini sudah jelas dilarang oleh Allah swt.! Ini pikiran yang sangat aneh sekali !!
Syair-syair untuk Nabi saw.dan para sahabat
Pada zaman Nabi saw. terdapat banyak penyair yang terkenal dan hebat datang kepada Rasulallah saw. dan mempersembahkan kepada beliau berhalaman-halaman syair yang memuji dan mengagungkan beliau saw.. Ini dibuktikan dengan banyaknya syair yang dikutip di dalam Sirah Ibnu Hisham, al-Waqidi dan lain-lain. Penyair-penyair tekenal mengagung-agungkan Rasulallah saw dihadapan beliau dan para sahabat, tidak dilarang oleh Rasulallah saw. dan tidak ada para sahabat yang mencela atau mengatakan hal tersebut berlebih-lebihan (ghuluw) dan sebagainya.
Rasulallah saw. amat menyenangi syair yang indah seperti yang diriwayat- kan Bukhari didalam al-Adab al-mufrad dan kitab-kitab lain. Rasulallah saw. bersabda: “Terdapat hikmah didalam syair”. Paman Nabi saw. Al-’Abbas mengarang syair memuji kelahiran Nabi saw. diantara bait terjemahannya sebagai berikut: ‘Dikala dikau dilahirkan, bumi bersinar terang hingga nyaris-nyaris pasak-pasak bumi tidak mampu untuk menanggung cahayamu, dan kami dapat terus melangkah lantaran karena sinar dan cahaya dan jalan yang terpimpin’ ( Imam as-Suyuti dalam Husn al-Maqsid : 5 dan Ibnu Katsir dalam kitab Maulid : 30 dan juga didalam kitab Ibnu Hajar, Fath al-Bari).
Ibnu Katsir menerangkan didalam kitabnya bahwa para sahabat ada me- riwayatkan bahwa Nabi saw. memuji nama dan nasabnya serta membaca syair mengenai diri beliau semasa peperangan Hunain untuk menambah semangat para sahabat dan menakutkan para musuh. Pada hari itu beliau saw berkata: ‘Aku adalah Rasulallah! Ini bukanlah dusta. Aku anak ‘Abdal–Muttalib !’ Beliau saw. juga sering berkata:
أنَا خَيْرُ أصْحَابِ اليَمِيْنِ , أنَا خَيْرُالسَّابِقِيْن, أنَا أتْقَى
وَلَدِ آدَمَ وَأكْرَمُهُمْ عَلَى اللهِ وَلاَ فَخرْ
Akulah ashabul-yamin yang terkemuka (dalam Dala’ilun Nubuwwah :5 , …..Akulah khairussabiqin (dalam Syarhul Mawahib 1:62) ….dan akulah anak Adam yang paling bertakwa dan paling mulia di sisi Allah dan aku tidak sombong….” (HR. At-Thabrani dan Al-Baihaqi didalam Dala’ilun Nubuwwah),
Sabda beliau saw. :
أنَا سَيْدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمِ القِيَامَةِ
“Saya adalah sayyid (orang yang paling mulia) anak Adam di hari Kiamat nanti’ (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Turmudzi) atau sabda beliau saw. :
أنَا سَيْدُ النَّاس يَوْمِ القِيَامَةِ
‘Aku adalah sayyid semua manusia di hari kiamat’ (HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim).
Riwayat Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi hadits dari Abu Hurairah ra: Nabi saw bersabda: ”Aku adalah penghulu putra Adam pada hari kiamat, dan aku adalah orang pertama yang keluar dari kubur (jasadnya), dan aku adalah orang pertama pemberi syafa’at dan orang pertama diberi syafa’at”.
Sedangkan dalam redaksi Tirmidzi disebutkan: “Aku adalah penghulu putra Adam pada hari kiamat di tanganku terdapat Liwaaul Hamdi / panji pujian dan aku tidak sombong.Tidak seorang Nabi pun pada hari itu baik Adam dan yang lainnya terkecuali dibawah naungan panji-panjiku dan aku adalah orang pertama yang keluar dari kubur dan aku tidak sombong”.
Masih banyak lagi kata-kata beliau saw. untuk dirinya. Kalau pujian-pujian ini semuanya dilarang maka tidak akan diucapkan dari lisan orang yang paling taqwa dan mulia Rasulallah saw. serta dari lisan para sahabat yang ditujukan kepada beliau saw.
Hadits-hadits yang mengemukakan bahwa Rasulallah saw. sendiri yang menerangkan betapa mulia dan tingginya kedudukan beliau saw. disisi Allah swt., itu tidak lain agar kita kaum muslimin sadar dan dapat membedakan serta mengakui bahwa Allah swt. memberi kedudukan Rasulallah saw.paling tinggi dan mulia daripada makhluk-makhluk Allah lainnya, dan sabda beliau tersebut sesuai dengan firman Ilahi untuk beliau saw. Dengan demikian kita tidak boleh menyamakan kedudukan dan kemuliaan beliau saw. dengan manusia biasa!
Hasan bin Tsabit ia mendendangkan syair yang bunyinya antara lain: ‘Anda lah (Rasulallah saw.) makhluk suci pilihan Allah… Andalah seorang Nabi dan keturunan terbaik Adam, keagungannya bagaikan ombak samudra..dan seterusnya’. Hasan bin Tsabit ra. sering melagukan dan membacakan syair-syairnya di depan Sayyidul Mursalin Muhammad saw. dan didepan para sahabat beliau. Tidak ada satupun yang mencela atau mengatakan berlebih-lebihan (ghuluw)! Tertera di batu nisan Hasan ibnu Tsabit beliau menulis mengenai Nabi saw.:
“Bagiku tiada siapa dapat mencari kesalahan didalam diriku, Aku hanya seorang yang telah hilang segala derita rasa, Aku tidak akan berhenti dari pada memujinya (nabi saw.), karena hanya dengan itu mungkin aku akan kekal didalam syurga bersama-sama ‘Yang Terpilih’, yang daripadanya aku mengharapkan syafa’at, dan untuk hari itu, aku kerahkan seluruh tenagaku kearah itu”.
Menurut riwayat yang berasal dari Abu Bakar Ibnul Anbari, ketika Ka’ab bin Zuhair dalam mendendangkan syair pujiannya sampai kepada sanjungan bahwa beliau saw. adalah sinar cahaya yang menerangi dunia dan beliau laksana pedang Allah yang ampuh terhunus. Sebagai tanda kegembiraan beliau saw., maka beliau menanggalkan kain burdahnya (kain penutup punggung) dan diberikan pada Ka’ab. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan pada masa kekuasaannya berusaha membeli burdah itu dari Ka’ab dengan harga sepuluh ribu dirham, tetapi Ka’ab menolaknya. Setelah Ka’ab wafat, Mu’awiy yah membeli burdah pusaka Nabi saw. itu dari ahli waris Ka’ab dengan harga dua puluh ribu dirham.
Banyak sekali hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi saw. tentang bagaimana mereka memuliakan dan mengagungkan Nabi saw. seperti Amr bin ‘Ash, Anas bin Malik, Usamah bin Syarik dan lain-lain. Semua pujian dan syair-syair ini tidak dilarang oleh beliau saw.! Juga syair-syair tersebut boleh dilagukan dan diiringi dengan bermain gendang.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa menurut riwayat ‘Aisyah Nabi saw. telah membenarkannya untuk mengundang dua orang perempuan menyanyi pada hari Raya. Beliau saw. memberitahu Abu Bakar, “Biarkan mereka menyanyi karena untuk setiap ummat ada hari rayanya dan ini adalah hari raya kita” [HR. Bukhori dan Muslim].
Didalam kitab Madarij al-salikin, Ibnu Qayyim menulis bahwa Nabi saw. memberi izin untuk menyanyi pada hari perkawinan dan membenarkan syair dipersembahkan untuk beliau saw.. Beliau mendengar Anas dan para sahabat memujinya dan membaca syair ketika beliau saw. sedang menggali parit semasa peperangan Khandaq dan mereka pernah berkata,” Kamilah yang telah memberi bai’ah kepada Muhammad untuk berjihad selama kami hidup.”
Ibnu Qayyim juga telah menceritakan mengenai ‘Abdullah ibnu Rawaha membaca syair yang panjang memuji-muji Nabi Muhammad saw. semasa penaklukan kota Makkah, dan Nabi pun berdo’a untuk beliau ra. Rasulallah saw. juga pernah mendo’akan untuk Hasan ibnu Tsabit agar Allah senantiasa memberi bantuan kepadanya dengan ruh suci (the holy spirit) selama beliau memuji-muji Nabi saw. melalui syairnya. Nabi juga pernah meminta Aswad bin Sarih untuk mengarang syair memuji-muji Allah dan beliau saw. Nabi saw. pernah meminta seseorang untuk membaca syair puji-pujian yang memuat seratus halaman yang dikarang oleh Umayya ibnu Abi Halh.
Menurut Ibnu Qayyim lagi, ‘Aisyah ra selalu membaca syair memuji baginda saw. dan beliau amat menyenanginya.” Ditulis juga oleh Ibnu Qayyim di dalam kitabnya, Allah memberi keizinan kepada Nabi saw. agar membaca Al-Qur’an dengan berlagu. Pada suatu hari Abu Musa al-Ash’ari sedang membaca Al-Qur’an dengan berlagu dan suara yang merdu dan ketika itu Nabi saw. sedang mendengar bacaan beliau .
Setelah beliau selesai mengaji, Nabi saw. mengucapkan tahniah kepada beliau karena bacaan beliau yang begitu merdu dan Nabi saw. bersabda: ‘Engkau mempunyai suara yang merdu’ beliau saw. bersabda lagi bahwa: ‘Abu Musa al-Ash’ari telah dikurniakan Allah ‘Mizmar’ (seruling) diantara mizmar-mizmar Nabi Daud’. Abu Musa pun berkata, ‘Ya Rasulallah jika aku tahu yang engkau sedang mendengarkan bacaanku niscaya aku akan membaca dengan suara yang lebih merdu dan lagu yang lebih enak lagi yang engkau belum pernah dengar lag’.
Ibnu Qayyim menulis lagi, Nabi saw. bersabda : ”Hiasilah al-Qur’an dengan suara kamu’, dan siapa-siapa yang tidak melagukan al-Qur’an bukanlah dari kalangan kami.” Ibnu Qayyim mengatakan juga: ‘Untuk menyenangi suara yang merdu adalah dibenarkan seperti juga kita menyenangi pemandangan yang indah, gunung-gunung, alam semesta ataupun harum-haruman dan wangi-wangian ataupun hidangan yang lezat selama semua itu tidak melanggar batas-batas syari’at’.
Seorang ahli hadits, Ibnu ‘Abbad telah memberikan fatwa tentang hadits Rasulallah saw. berikut ini: “Seorang wanita telah datang menemui Nabi di waktu beliau saw. baru pulang dari medan peperangan, dan wanita itu pun berkata; ‘Ya Rasulallah, aku telah bernadzar jika sekiranya, Allah meng- hantarkan engkau kembali dalam keadaan selamat, aku akan bermain gendang disebelahmu.’ Nabi pun bersabda; ‘Tunaikanlah nadzarmu’ .” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Imam Ahmad)
Lihat hadits terakhir diatas yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang cukup terkenal bahwa Rasulallah saw. mengizinkan wanita tersebut untuk melaksanakan nadrnya yaitu bermain gendang sebelah Rasulallah saw.. Bilamana hal tersebut dilarang maka akan dilarang pula oleh beliau saw., walau pun hal itu sebagai nadr. Karena nadr tidak boleh dilaksanakan bila bertentangan dengan syari’at Islam.
Kalau kita baca riwayat-riwayat diatas mengenai syair-syair pengagungan, permainan gendang dengan niat yang baik dihadapan Rasulallah saw. dan para sahabatnya itu dibolehkan dan malah beliau saw. gembira dan mendo’a kan serta memberi hadiah pada para penyair tersebut. Alasan apa orang menyalahkan dan mengharamkan pembacaan syair atau qosidah-qosidah pujian juga pada majlis peringatan agama untuk Rasulallah saw. atau untuk para ahli takwa lainnya sambil di-iringi dengan suara gendang agar lebih menarik bagi pendengarnya? Mereka semua mempunyai niat yang baik untuk membaca, mendengar syair, qosidah pujian-pujian itu serta semuanya ini tidak bertentangan dengan syari’at Islam ! Bila menulis, membacakan dan melagukan syair pujian itu, permainan gendang haram, haram pula lah perkara-perkara yang telah disebutkan dalam hadits-hadits Rasulallah saw..
Rasulallah saw. khususnya dan para sahabat adalah para tokoh Salaf Sholeh, mengapa golongan pengingkar yang mengaku madzhab dan peng- ikut Salaf Sholeh justru melarangnya?
Mencampur aduk antara Ta’dhim/pengagungan/penghormatan dan ’Ibadah
Masalah perbedaan Ta’dhim dan Ibadah ini sudah dikemukakan sebelumnya, disini kami tambahkan sedikit karena masih banyak orang yang keliru memahami kata ta’dhim (penghormatan atau pengagungan tinggi) dan kata ‘ibadah. Kekeliruan ini mengakibatkan pencampur-adukan antara dua kata tersebut sehingga mereka mudah menarik kesimpulan bahwa pengagungan berarti penyembah- an .
Berdasarkan pengertian yang salah ini mereka berpendapat bahwa bersikap khidmat dan bersikap rendah diri dimuka makam beliau saw. ini dianggap juga sebagai sikap berlebih-lebihan (ghuluw) yang dapat menyeret orang pada sesembahan selain Allah swt. Demikian juga mencium tangan orang-orang yang shalih/wali atau adat istiadat dan tradisi yang berlaku dikalangan masyarakat Jawa yang tiap hari Raya pada umumnya orang Jawa juga yang beragama Islam mereka berjongkok (bersungkem) didepan ayah ibunya masing masing semuanya itu oleh orang yang bepengertian salah di anggap merupakan sikap yang berlebih-lebihan dan perbuatan mungkar/ haram yang harus diberantas.
Sebenarnya semuanya itu sama sekali tidak bisa diartikan penyembahan dan tidak terlintas sama sekali dalam hati dan pikiran mereka bahwa mereka itu menyembah pada orang-orang sholeh/wali yang dicium tangannya atau berjongkok didepan ayah bundanya sebagai Tuhan! Tidak lain semuanya itu disebut ta’dhim (pengagungan dan penghormatan tinggi).
Sama halnya kalau kita ber-rukuk, bersujud didepan bangunan Ka’bah bukan berarti bahwa kita menyembah Ka’bah tapi yang kita sembah adalah Allah swt.. Bila ada orang yang mempunyai pikiran bahwa bersujud dihadapan bangunan Ka’bah sebagai penyembahan maka dia bukan termasuk orang yang beriman! Jadi yang penting disini adalah keyakinan kita terhadap orang (obyek) yang diagungkan atau dihormati tersebut.
Kita semua mengetahui bahwa yang tidak boleh dilakukan ialah bila orang memandang Rasulallah saw., para ahli waliyullah serta orang-orang sholih memiliki sifat-sifat Rububiyyah (ketuhanan) secara hakiki/sebenarnya dan mengagung-agungkan mereka sebagai Tuhan! Inilah yang dilarang oleh syariat Islam. Selama kita masih menyakini bahwa beliau saw. adalah manusia yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Ilahi dan dimuliakan serta dipuji-puji oleh Allah swt., begitu pun juga para ahli taqwa termasuk makhluk Ilahi yang mulia, maka itu sama sekali tidak menyalahi syariat dan sunnah !
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai sujudnya Malaikat terhadap nabi Adam as. dan sujud saudara-saudara Nabi Yusuf as. terhadap nabi Yusuf as. (QS Al-Isra’: 61-62 dan Surat Yusuf : 100). Ahli tafsir bersepakat bahwa arti sujud didua ayat tersebut bukanlah sujud penyembah- an tapi sujud penghormatan, pengagungan dan pemuliaan kepada Nabi Adam as. dan Nabi Yusuf as. Allah swt. sendiri malah memerintahkan para malaikat-Nya menghormati dan memuliakan Adam as dengan cara bersujud pada Adam as. Juga Dia berfirman dalam kitab-Nya bahwa saudara-saudara Nabi Yusuf bersujud pada Nabi Yusuf as. tanpa dicela oleh Allah swt. perbuatan mereka itu.
Jadi kalau sujudnya para malaikat kepada Adam as yang diperintahkan oleh Allah swt. itu tidak harus berarti menyembah atau mempertuhankan sesuatu, hanya sebagai penghormatan atau pengagungan saja pada seseorang. Bagaimana sebagian saudara kita muslimin berani melontarkan kata-kata bahwa orang yang sekedar cium tangan sebagai penghormatan pada orang-orang wali dan shalih atau berdiri khidmat didepan makam Rasulallah saw. atau para ahli takwa, membaca syair-syair untuk pemuliaan serta peng- agungan terhadap Nabi saw. yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Allah swt. baik yang dilangit mau pun di bumi dan para ahli takwa di pandang sebagai penyembahan, dimungkarkan serta disyirikkan? Tidak lain golongan pengingkar ini tidak bisa membedakan antara Ta’dhim dan ‘Ibadah!
Mengapa mereka tidak mengecam sujudnya para malaikat terhadap Adam as. dan sujudnya saudara-saudara Yusuf as. terhadap Nabi Yusuf as sebagai perbuatan sesat, berlebih-lebihan (ghuluw) atau syirik juga, padahal inti dan maknanya toh sama yaitu sujud tersebut untuk penghormatan dan pemuliaan? Apakah mungkin Allah swt. akan memerintahkan para malaikat-Nya sujud pada Adam as sebagai penyembahan bukan sebagai penghormat an saja? Tentu Tidak Mungkin, karena penyembahan selain kepada Allah swt. adalah perbuatan syirik, sedangkan syirik adalah amalan yang dibenci oleh Allah swt.!
Lebih heran lagi ada golongan pengingkar yang menyebut Rasulallah saw. hanya dengan nama beliau saja, misalnya: ‘Muhammad mengatakan begini dan begitu…’ melarang dan mensesatkan orang yang menyebut Nabi saw. dengan sayyidina atau maulana Muhammad saw. (untuk lebih mendetail baca bab Bid’ah dibuku ini ). Tapi mereka sendiri bila menyebut seorang pejabat tinggi pemerintahan, seorang Raja atau menteri baik yang masih hidup atau sudah wafat selalu menggunakan kata-kata Yang mulia, Bapak, Pengagungan terhadap mereka dan lain sebagainya. Seolah-olah dihati mereka tidak terdapat sama sekali perasaan wajib menghormati seorang Nabi dan Rasulallah yang di imani dan ditaatinya serta diperintahkan oleh Allah swt untuk menghormati dan tidak memanggil Rasulallah saw. sebagaimana memanggil satu sama lain diantara kalian. Dengan sikap demikian itu mereka seakan-akan juga menempatkan Rasulallah saw. dibawah martabat para Raja dan pejabat pemerintahan ! Kami berlidung pada Allah swt. dalam hal ini.
Rasulallah saw. bukan manusia biasa tetapi Insan Kaamil (manusia sempurna)
Makalah-makalah dibuku ini sudah cukup jelas sebagai bukti bahwa Nabi saw. adalah bukan manusia biasa tapi beliau adalah manusia sempurna (Insan Kaamil). Walau pun demikian masih ada saja golongan pengingkar yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. adalah manusi biasa seperti kita kita ini, bedanya hanya beliau saw. menerima wahyu dari Allah swt.. Mereka dengan berdalil pada firman Allah sebagai berikut: “Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu. Hanya saja kepadaku disampaikan wahyu.” (QS. 18:110). Berdasarkan ayat ini dan ditambah ayat-ayat senada, misalnya; “Katakan: ‘Mahasuci Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?”. Golongan ini percaya bahwa Nabi Muhammad saw. adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, oleh karena itu golongan ini menganggap mengagungkan dan memuji Rasulallah saw. merupakan sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dan pengkultusan yang tidak perlu serta dapat membawa orang kepada perbuatan syirik.
Mereka menafsirkan firman Allah swt. diatas secara tekstual. Jika kita telusuri dengan seksama semua ayat-ayat ilahi dibuku ini atau buku lainnya yang menyinggung tentang Nabi saw. atau yang berkenaan dengan Nabi saw, maka dengan yakin kita akan menganut pandangan ulama-ulama pakar yang menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw. memang bukan manusia biasa tapi Insan Kaamil. Beliau saw. adalah manusia utama, “superman” yang telah berhasil melewati tingkat umum manusia dan mencapai derajat keutamaan yang tiada taranya.
Apa yang dimaksud ayat Ilahi diatas bahwa Rasulallah saw. adalah manusia (basyar), seperti manusia lainnya? Apakah maksudnya bahwa kedudukan beliau saw. di hadapan Allah sama dengan manusia lainnya?
Kami kira golongan pengingkar pemujian/pengagungan kepada Rasulallah saw. pun tidak membenarkan anggapan seperti ini. Mereka juga yakin bahwa Rasulallah saw. adalah seorang Rasul dan memiliki kedudukan yang sangat khusus di sisi Allah. Kita coba mengkajinya, bagaimana kita harus menyikapi Rasulallah saw.? Disatu sisi, beliau adalah Nabi dan Rasul dengan kemuliaan yang tiada tara dan kedudukan beliau saw. dalam al-Qur’an sungguh luar biasa, tapi disisi lain al-Qur’an menegaskan bahwa ia juga adalah manusia seperti kita. Terdapat puluhan ayat didalam al-Qur’an yang memuji Rasulallah saw., apakah dalam bentuk pujian langsung atau dalam bentuk penyebutan sifat-sifat terpuji yang dimiliki Nabi seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya. Beberapa contoh lagi mengenai keagungan Rasulallah saw. yang tidak dimiliki oleh manusia biasa adalah sebagai berikut:
 Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw. berkata: ‘Setiap kali Allah swt. mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah swt. menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Rasulallah saw. diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama’.
 Sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam surat Aal- Imran : 81:
“Dan ketika Allah mengambil janji dari para nabi: ‘Aku telah berikan kepada kalian al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Muhammad saw.) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada pada kalian, kalian benar-benar harus beriman kepadanya dan membelanya.” Dia (Allah) berkata: ’Apakah kalian menerima dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini’? Mereka berkata: ‘Ya, kami berjanji untuk melakukan itu’. Dia berkata: ‘Kalau begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian’ “.
 Al-Qur’an menjelaskan bahwa para penganut Ahlul-Kitab tahu betul tentang kedatangan Rasulallah saw. sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Bahkan mereka saling memberi kabar gembira tentang kedatangannya itu (QS. 2: 89,146).
 Dan itu pula yang dimohonkan Nabi Ibrahim as. dalam do’anya:
“Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (Muhammad) yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (QS. 2:129).
 Rasulallah saw. ditetapkan sebagai perantara (wasilah) antara dirinya dengan manusia. Bahkan merupakan salah satu syarat terkabulnya do’a. Firman Allah swt.:
وَمَا أرْسَلـْنَا مِنْ رَسُـوْلٍ إلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلـَوْ أنَّهُـمْ إذْ ظَلَمُوااَنْفُسَهُمْ جَاءوُكَ
فَاسْتَغْفِرُوْا اللهَ وَاسْتَغْفَرَلَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوْا اللهَ تَوَّابًا الرَّحِيْمًا
“Kami tidak utus seorang Rasul kecuali untuk ditaati, dengan seizin Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun buat mereka, pastilah mereka dapati Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih”. (QS. 4:64).
 Bahkan sebagai perantara tawassul kepada Rasulallah saw. ini sudah dilakukan para nabi dan orang-orang sholeh jauh sebelum kelahiran beliau saw. (baca bab Tawassul dibuku ini). Kita dapat membaca riwayat yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa telah bertawassul kepada Rasulallah saw. saat mereka berdua dikeluarkan dari surga. Dikisahkan bahwa tatkala Nabi Adam as dikeluarkan dari surga, ia memohon ampun kepada Allah atas perbuatannya.
Dari sekian ayat yang telah kami kemukakan didalam bab ini tidak dapat disangkal bahwa Rasulallah saw bukan manusia biasa, dalam arti bahwa kedudukannya paling mulia di sisi Allah swt.. Ia telah diciptakan Allah swt. sebelum menciptakan yang lainnya. Rasulallah saw. telah dipersiapkan membawa amanat-Nya jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan utusan-utusan itu diperintahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat manusia tentang kedatangannya. Rasulallah saw. ditetapkan sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan, dan sebagainya. Akan tetapi semua ini tidak harus membuat kita menempatkan beliau saw. sebagai anak Tuhan atau Tuhan dibumi/didunia, bukan dari golongan manusia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as.
Rasulallah saw. tetap manusia sebagaimana manusia lainnya, sebagaimana isyarat al-Qur’an dalam beberapa ayatnya di atas. Pada diri Rasulallah saw. terdapat segala sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi biologis manusia. Karena itu Rasulallah saw. makan, minum, sakit, tidur, berdagang, berkeluarga, senang, sedih, dan sebagainya, seperti umumnya manusia. Al-Qur’an sengaja menegaskan bahwa Rasulallah saw. adalah manusia/basyar seperti manusia lainnya untuk membantah penolakan kaum musyrikin terhadap Rasulallah saw. bahwa ia bukan dari golongan malaikat atau paling tidak bekerjasama dengan malaikat (QS. 25:7) dan juga mengingatkan kaum Muslimin supaya tidak membuat kesalahan seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as yang menganggapnya sebagai anak Tuhan atau Tuhan dibumi! Akan tetapi ketika kita mengatakan bahwa Rasulallah saw. adalah manusia biasa seperti manusia lainnya tidak berarti bahwa kita harus menganggap beliau salah, keliru, melanggar, atau berakhirlah segalanya sesudah beliau saw. wafat. Sama sekali tidak demikian.
Kesucian, keterpeliharaan dari dosa ma’sum hidup abadi bersama Allah sesudah kematian atau kemampuan berhubungan dengan-Nya sesudah kematian adalah perkara ruhani yang dapat saja dicapai oleh manusia mana pun jika ia telah mencapai kedudukan ruhani yang tinggi, apalagi dengan ruhani Rasulallah saw. yang paling mulia dari segala orang yang bertaqwa.
Allah swt. memang menciptakan manusia dari unsur tanah, yang menghasil- kan dimensi biologisnya, akan tetapi pada manusia, Allah swt. ciptakan juga unsur lainnya, yakni ruh Allah swt. yang justru dapat membuat manusia lebih tinggi dari makhluk mana pun, termasuk malaikat karena melalui ruh itu manusia mampu mengatasi unsur biologisnya. Oleh karena itulah mengapa malaikat dan jin atau Iblis diperintahkan untuk sujud (penghormatan tinggi) kepada Adam atau manusia. Itulah pula mengapa Nabi Muhammad saw. dapat menembus Sidratul-Muntaha (waktu peristiwa Isra Mi’raj), sementara Jibril as akan hangus terbakar jika berani mencoba melangkah- kan kaki meski un hanya setapak. Padahal Jibril adalah penghulu para malaikat. Tidak lain karena Nabi Muhammad saw. telah mencapai derajat kesempurnaan mutlak insani (Insan Kaamil).
Kesalahan terbesar golongan yang menolak mengakui kesempurnaan Rasul saw. dan menolak memujinya, bahkan menganggap pelakunya sebagai ber- tindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharamkan! Golongan ini tidak lain melihat Rasulallah saw. dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat Rasulallah saw. sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguh- nya. Melihat seorang hanya dari dimensi biologisnya adalah logika orang-orang kafir, bukan logika orang-orang beriman. Orang-orang kafir menolak mengakuinya sebagai Nabi atau Rasul dengan alasan bahwa para utusan Allah itu hanya manusia seperti mereka.
Sebagaimana firman Allah swt.: “Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi orang-orang (kafir) untuk beriman tatkala datang kepada mereka petunjuk kecuali perkataan mereka: ‘Apakah Allah mengutus Rasul dari golongan manusia?’ ”.(QS. 17:94). Tapi orang-orang beriman berkata: “Kami mengimaninya. Semuanya dari sisi Tuhan kami”. (QS. 3:7).
Berdasarkan beberapa ayat yang telah dikemukakan ini tentang keagungan Rasulallah saw. dan lain sebagainya, kita dapat melihat betapa Allah swt. menuntut kita untuk menghormati dan mengagungkan Rasul-Nya. Coba perhatikan ayat shalawat. Adakah perintah yang sama dengan perintah shalawat, selain shalawat kepada Rasulallah saw.? Tidak ada! Ayat sholawat ini didahului dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya telah melaku kannya terlebih dahulu, oleh karena itu kitapun diperintahkan untuk melaku- kannya.
Perintah itu berarti kita harus selalu melihat Rasulallah saw. dengan penuh ta’dhim (hormat) dan agar kita selalu membalas jasa-jasanya. Oleh karena itu pula, Rasulallah saw. selalu mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil atau kikir. Bahkan orang yang datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke Madinah untuk berziarah kepada beliau saw. telah memutus hubungan silatur-rahmi dengannya.
Pada ayat tawassul (QS 4:64) diatas kita bahkan diperingatkan oleh Allah swt. jika ingin dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya harus bertawassul kepada beliau saw. Jika tidak, Allah tidak akan mengabulkan permohonan ampun kita. Allah juga mengingatkan agar kita tidak memperlakukan beliau saw. sama dengan kita, sebab hal itu dapat menghapus pahala amal ibadah kita (QS. 49:2-3). Selain itu, kita juga diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang dilakukan atau diucapkan beliau saw. lahir karena emosi atau hawa nafsunya. Tapi semuanya atas bimbingan Allah yang menjaga beliau saw. dari dosa dan kesalahan serta menjadikan manusia yang sempurna. “Ia (Muhammad) tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diterimanya”. (QS. 53:3-4). Namun demikan, beliau tetap manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam secara biologis tidak ada perbedaan antara Rasulallah saw. dengan yang lain.
Mari kita baca peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulallah saw. di bawah ini. Abdullah bin Amr berkata: “Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulallah saw., aku bermaksud menghafalnya. Tapi orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata: ‘Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulallah saw.? Padahal beliau hanyalah seorang manusia yang berbicara saat marah dan senang’. Aku berhenti menulis. Tetapi kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulallah saw. Beliau kemudian menunjuk kepada mulutnya dan berkata: ‘Tulis saja! Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang keluar dari sini (sambil menunjuk mulut beliau saw.) kecuali kebenaran’ “!!
Dengan banyaknya riwayat tentang Nabi saw., tidak ada alasan orang untuk melarang, memunkarkan atau mengatakan perbuatan berlebih-lebihan bila kita sering mengagungkan beliau saw. atau mengatakan bahwa beliau saw. adalah manusia yang sempurna!!
Ada sementara orang yang mengarang-ngarang sendiri sambil mengatakan bahwa penghormatan, pengagungan pada Rasulallah saw., dibolehkan kalau beliau saw. masih hidup, tetapi kalau Rasulallah saw. sudah wafat, maka tidak boleh. Alasan ini tidak berdasarkan nash dan tidak tepat, karena pujian dan perintah Allah swt. yang tercantum pada ayat Al-Ahzab:56, al-Haj 30- 32, Al-Hujuraat 2 dan lain-lainnya itu tetap berlaku, begitu juga tawassul/ tabarruk (baca bab tawassul/tabarruk) setelah wafatnya beliau saw. diamal- kan juga oleh para sahabat, para salaf (orang-orang terdahulu) dan para khalaf (orang-orang belakangan) serta ulama-ulama pakar lainnya sepanjang zaman. Kalau hal tersebut menyalahi syari’at, sudah tentu diketahui oleh para sahabat, para salaf dan para ulama-ulama itu dan tidak mungkin juga akan dilakukan oleh mereka.
Dengan demikian, yang mengagungkan dan memerintahkan kita untuk mengagungkan Rasulallah saw. adalah Allah swt. sendiri, bukan kita! Kita hanya mengikuti perintah dan ajaran-Nya saja. Lalu mengapa kita harus menentang Allah dan Rasul-Nya hanya karena takut jatuh dalam hantu “kultus” yang kita ciptakan dan karang-karang sendiri?
Sebenarnya ini semua bukan kultus; karena kultus ialah melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pengagungan Rasulallah saw. justru mendudukkan posisi Rasulallah saw. sebagaimana mestinya, seperti yang di perintahkan Al-Qur’an. Justru jika kita tidak melakukan itu, dikhawatirkan telah mendzalimi beliau. Ingat firman Allah swt.: “Sesungguhnya orang-orang yang menggangu Allah dan Rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di akhirat dan Allah siapkan baginya siksa yang menghinakannya”. (QS. 33:57).
Sudah tentu kita semua sadar, yakin dan mengetahui bahwa pemuliaan dan pengagungan terhadap Rasulallah saw. sebagai hamba Allah (Makhluk) tidak setaraf dengan pemuliaan dan pengagungan kita terhadap Allah swt. sebagai Pencipta (Al-Khalik). Bila ada pikiran yang memandang makhluk setaraf dengan Khalik itulah baru dikatakan syirik!
Disamping ayat-ayat yang telah kami kemukakan sebelumnya, mari kita teruskan firman Allah dan riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulallah saw.bukan manusia biasa tapi manusia Kaamil (sempurna) berikut ini.
 Penciptaan Nabi saw.lebih dahulu daripada Nabi Adam as. hanya beliau saw. masih dalam wujud “nur” atau cahaya. Ketika Allah menciptakan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam as yang kemudian berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi Abdullah, ayah Nabi.
 Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Jabir bin ‘Abdullah al-Anshari ra. bahwasanya dia pernah bertanya kepada nabi saw.; “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulallah, beritahukanlah padaku tentang suatu yang di ciptakan Allah sebelum segala sesuatu yang lain. Jawab beliau saw.; ‘Wahai Jabir, sesungguhnya Allah sebelum menciptakan segala sesuatu yang lain, telah menciptakan Nur Nabimu, Muhammad dari Nur-Nya’”. Dan hadits dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi saw. telah bersabda: “Aku adalah yang pertama diantara para Nabi dalam penciptaan, namun yang terakhir dalam kerasulan…”.
 Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulallah saw bersabda: “Allah telah men-ciptakanku dalam wujud nur yang bersemayam di bawah ‘arasy dua belas ribu tahun sebelum menciptakan Adam as. Maka ketika Allah menciptakan Adam, Ia meletakkan nur itu pada sulbi Adam. Nur itu berpindah dari sulbi ke sulbi; dan kami baru berpisah setelah ‘Abdul Muthalib. Aku ke sulbi ‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi Abu Thalib”.
 Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa sulbi-sulbi orang-orang suci. Ini berarti bahwa orang-tua dan nenek-moyang Rasulallah sampai ke Nabi Adam as. dalam Istilah al-Qur’anal- Sajidîn orang-orang patuh. Sebagaimana firman-Nya: “Dan bertawakallah kepada Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau bangun dan perpindah- anmu dari sulbi kesulbi orang-orang patuh”. (QS. 26 :217-219).
 Rasulallah saw. adalah manusia suci, tidak pernah berbuat dosa (ma’sum). Namun demikian, ia tetap manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam secara biologis tidak ada perbedaan antara Rasulallah saw. dengan yang lain. Allah berfirman dalam Al-Ahzab:33: “Sesungguhnya yang di ke- hendaki Allah ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”.
 Rasulallah saw. adalah teladan yang sempurna, uswatun hasanah (QS.33:21). Oleh karenanya; “Apapun yang dibawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarangnya harus kamu jauhi.” (QS. 59:7)
 Dibukakan rahasia kegaiban kepada Rasulallah saw. sebagaimana firman Allah swt.; “Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan mem- bukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada Rasul yang di kehendaki”. (QS. 72: 26-27). Tentu saja Rasulallah saw. berada di urutan paling atas di antara para Rasul, beliau penghulu dari semua Nabi dan Rasul yang menerima anugrah utama ini.
 Allah memuji Rasulallah saw. dengan berbagai pujian, karena keluhuran akhlaknya (QS. 68:4); kepeduliannya dan kasih sayangnya kepada umat manusia (QS. 9:128) dan pengorbanan diri, tidak mementingkan diri demi kebahagiaan orang lain (QS. 20:2-3). Selain itu Allah swt. memberi perhatian yang khusus kepada Nabi Muhammad saw jika ada sedikit saja “masalah” yang dihadapinya (QS. 93:1-3 & QS 94:1-4).
 Siapa saja yang berhadapan dengan Rasulallah saw. maka berhadapan dengan Allah swt.. Sebaliknya, siapa saja yang membelanya, Allah berada di belakangnya (QS. 9:61).
 Orang-orang beriman diperintahkan untuk tidak memperlakukan Rasul- Allah saw. sebagaimana perlakuan mereka terhadap sesama mereka. Jika berbicara kepada Rasulallah saw. harus dengan suara yang pelan, tidak boleh teriak-teriak, karena hal itu akan meng- hapus pahala amal mereka (QS. 49:2-3).
 Allah akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Rasulallah saw.: “Dan Tuhanmu akan memberimu sehingga membuatmu senang” (QS. 93:5). Ayat ini menunjukkan betapa Allah swt. amat mencintai Rasul-Nya. Ia akan memberikan apa saja yang di inginkan Rasulallah saw. dan akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Rasulallah saw. Dan salah satu anugerah Allah swt. yang paling besar kepada Rasulallah saw. ialah wewenang memberi syafa’at kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia, yaitu dalam bentuk pengabulan do’a yang di sampaikan oleh Rasulallah saw. untuk umatnya, baik ketika Rasulallah saw. masih hidup mau pun sesudah wafatnya (baca bab Tawassul/Tabarruk).
Dari sekian ayat dan hadits yang kita baca diatas apakah masih kita sangkal atau ragukan lagi bahwa Rasulallah saw. bukan manusia biasa melainkan manusia sempurna (Insan Kaamil), dalam arti bahwa kedudukannya paling tinggi dan mulia di sisi Allah swt.? Akan tetapi semua ini, sekali lagi, tidak harus membuat kita memposisikan beliau saw. sebagai anak Tuhan atau Tuhan dibumi/didunia, bukan dari golongan manusia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as.
Insya Allah dengan kutipan dalil-dalil diatas yang berkaitan dengan Maulid/ hari kelahiran beliau saw. ini atau berkaitan dengan pribadi junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. sebagai manusia sempurna/insan Kaamil yang diciptakan Allah swt. para pembaca bisa menilai sendiri apakah semuanya ini perbuatan berlebih-lebihan sebagaimana yang dikultuskan oleh golongan pengingkar atau memang perintah Ilahi untuk mengagungkan beliau saw. ?

Semoga Allah swt. memberi hidayah dan taufiq kepada kita semua. Amin

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan menuliskan komentar dulur pada opsi Google/Blogger untuk dulur yang memiliki akun Google/Blogger.

Silahkan pilih account yang sesuai dengan blog/website dulur (LiveJournal, WordPress, TypePad, AIM).

Pada opsi OpenID silahkan masukkan URL blog/website dulur pada kotak yang tersedia.

Atau dulur bisa memilih opsi Nama/URL, lalu tulis nama dulur dan URL blog/website dulur pada kotak yang tersedia.

Jika dulur tidak punya blog/website, kolom URL boleh dikosongkan.


Gunakan opsi 'Anonim' jika dulur tidak ingin mempublikasikan data dulur. (sangat tidak disarankan). Jika komentar dulur berupa pertanyaan, maka jika dulur menggunakan opsi ini tidak akan ditanggapi. Afwan , salam Ukhuwah.

Sunni Muda
----------------------------------